Saturday 24 November 2007

DILEMMA DEMOKRASI ALA INDONESIA

DILEMMA DEMOKRASI ALA INDONESIA

Renungan Seorang PNS tentang Pencapaian Pola demokrasi Indonesia yang masih dalam proses perjalanan panjang.

Kebanggaan akan hadirnya Indonesia sebagai “salah satu” negara demokrasi di dunia ini, bila dilihat secara dangkal akan membuat kita merasa amat senang. Namun kesenangan itu akan menjadi amat mahal dan menentukan jalannya negara dan bangsa Indonesia untuk mencapai taraf hidup yang rata-rata layak. Kita tentu tidak bisa mengkonsumsi politik untuk menghibur dan mengenyangkan perut yang kosong.

Saat ini, bila kita tanya tentang apa yang dimaksud dengan demokrasi kepada para ahli politik di Indonesia ini, maka akan ada banyak jawaban dari mereka, mulai dari yang paling sederhana sampai paling nyelimet. Hampir tiap hari media massa melansir tentang ide demokrasi. Bahkan nampaknya akan ada suatu perjalanan panjang perpolitikan di negara ini untuk mencapai satu kesepakatan tentang pola demokrasi Indonesia.

Kebutuhan akan demokrasi di Indonesia, dalam prakteknyapun terserah kepada masing-masing partai politik, dimana pada saat suatu partai telah berhasil menjadi partai yang diakui secara resmi, maka nampaknya secara otomatis pihak ini akan berhak melahirkan teori politik baru dan pengertian demokrasi baru.

Banyak politikus orang Indonesia, selalu berkata demokrasi Indonesia itu berbeda dari demokrasi di negara lain. Kita selalu bangga mengatakan bahwa kita adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Praktek Demokrasi Indonesia.

Belum Ada Batas Kewajarannya.

Belum ada norma atau konsensus politik yang menjamin demokrasi di Indonesia itu dalam prakteknya dapat dikalkulasi memberikan parameter nuansa kewajaran yang sejuk bagi mayoritas dan minoritas. Wadah untuk menempatkan ide demokrasi yang dapat menjadi acuan normatif dan universal bagi semua orang belum ada bentuknya. Semua politikus masih menawarkan dan memaksakan pemahaman masing-masing dan kebanyakan menutup diri akan interaksi sosial non-kelompok yang menjadi ciri utama demokrasi.
Adanya keanehan dan kontroversi dalam individu / kelompok politik di Indonesia, yaitu kecenderungan mereka bahkan makin terisolir dan egois akan faham politiknya. Secara normatif hal ini bertentangan dengan hakekat politik itu sendiri, yaitu bersifat sosial. Politik amat berbeda dengan bidang lain, yaitu politik itu adalah bukan anti sosial, melainkan sebuah interaksi banyak otak, komunikasi, tawar menawar, dinamika kehidupan yang amat variatif. Politik dilakukan oleh banyak orang dalam suatu khasanah dinamis yang enerjik untuk mencapai tujuan bersama. Berbeda dengan bidang lain, misalnya perencanaan. Perencanaan pada dasarnya adalah kegiatan yang anti sosial, karena hanya di buat oleh seorang atau beberapa orang tertentu saja, bahkan sebuah konsep rencana induk pun pada akhirnya di buat oleh beberapa orang tenaga yang ahli saja. Perencanaan ini adalah sebuah cetak biru, menghindari konsep politik yang berbelit-belit, perencanaan tegak lurus mencapai tujuan. Perencanaan mengutamakan efisiensi dan efektivitas. Politik bergerak berbelit-belit dalam mencapai tujuan melalui porses yang amat variatif seperti tersebut di atas. Politik itu amat “normatif”, artinya sangat tidak berbentuk secara fisik. Batasannya adalah hati-nurani yang bersih, jujur dan adil. Tidak ada yang salah dengan politik bila dilakukan dengan cara / batasan ini.
Apabila penerapan politik tidak bisa memberi batas yang jelas dengan penerapan bidang lainnya, maka kita akan selalu menghadapi dilemma politik yang tidak berkesudahan. Parameter politik sewajarnya yang dapat diacu secara nasional, harus ada. Terutama dalam hal penyelenggaraan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bahwa jangan terjadi terus menerus adanya intervensi bidang-bidang yang hakekatnya bukan menjadi bidang politik. Dalam hal ini pemerintahan Indonesia itu sudah nyata terdiri dari legislatif (acuan pokonya adalah politik), eksekutif (acuan pokoknya adalah penerapan pelaksanaan) dan yudikatif (acuan pokonya adalah penerapan norma-norma).
Jembatan yang harus dibentuk diantara fungsi-fungsi tersebut adalah akumulasi energi dan materi serta intelektual membentuk jalur bebas hambatan untuk mencapai tujuan negara Indonesia sebagai acuan tunggal.

Politik Yang Menguras Sumberdaya.

Kita belum pernah menghitung berapa biaya politik di Indonesia ini, namun secara kasat mata dapat dinilai bahwa biaya politik di negara kita amat besar dan berdampak amat nyata terhadap pencapaian tujuan negara dan berakibat nyata terhadap tingkat kehidupan manusia Indonesia.
Sejak era Soekarno, sampai saat ini, pergulatan politik Indonesia tidak pernah selesai, kadangkala dalam perjalanannya hampir-hampir membawa negara ini runtuh. Para politikus yang ada tidak pernah jera selalu mengulang-ulang dan menambah panjangnya medan juang dan pertempuran politik itu disegala penjuru kehidupan.
Apakah sampai terjadi kita menjadi seperti bangsa Palestina dan Israel yang sudah sejak lahir tidak mengenal lagi arti perdamaian. Menjadi bahagia dan bergairah menghadapi perang daripada kedamaian.
Instrumen politik kita dibuat selalu untuk menciptakan ketidakpastian disegala penjuru kehidupan. Para politikus kita masih terjerat dalam lingkaran setan politik yang terbentuk terlampau kuat sehingga menutup perkembangan bidang lainnya.
Pertumbuhan politik telah menghilangkan banyak sekali aspek teknis yang seharusnya dominan dalam menentukan efisiensi dan efektifitas atau kinerja suatu bangsa. Bayangkan saja misalnya yang terjadi saat ini, untuk menempatkan seseorang dalam jabatan teknis, masih saja dilakukan dengan pertimbangan politik. Saat ini di tingkat nasional, seorang profesional dan karier dalam lembaga pemerintahan amat langka menjadi seorang Menteri atau pejabat tinggi lainnya. Menteri telah menjadi politikus, dan ke daerah hal yang sama telah berlanjut, yaitu kepala dinas / badan / unit kerja sudah menjadi ajang perebutan politisi.
Telah terlihat bahwa terjadi tahun ini 2007, bangsa-bangsa lain yang dahulunya hancur karena politik, saat ini telah melampaui perkembangan parameter pembangunan Indonesia.
Politik Indonesia sampai saat ini belum mampu melakukan penghematan sumberdaya nasional, malah mengurasnya dan menyebabkan lambannya pencapaian taraf kelayakan hidup masyarakat luas.

Otorisasi Politik Biaya Tinggi.

Politik Indonesia dipraktekkan dengan otoriter. Adanya konsepsi lawan / musuh / mitra / kawan politik. Dalam pemilihan legislatif dan eksekutif, meski normanya sudah di buat melalui perundangan / peraturan, namun nuansa dan praktek politik tetap sama. Amat banyak sumberdaya sudah dihabiskan untuk arena politik. Pemilihan langsung telah menyerap dana triliun rupiah yang seharusnya akan amat bermanfaat bagi masyarakat luas bila dikelola dalam konsepsi politik yang adil, namun bukti hasilnya adalah munculnya kekuasaan baru yang masih menganggap siapa yang kalah dalam arena politik adalah lawan politik yang kurang bahkan tidak perlu lagi dianggap sebagai bagian sistem dalam negara. Padahal secara harafiah, pemenang apapun dalam dunia ini muncul karena adanya pihak yang kalah. Secara sederhana, orang miskin itu menciptakan orang kaya !!!. Presiden, Gubernur, Bupati / Walikota itu ada karena adanya pihak lain yang kalah dalam pemilihan akan kedudukan itu. Pihak yang kalah ini adalah pihak yang secara langsung dan tidak langsung memberikan legitimasi adanya pihak yang menang. Orang bodoh tidak akan ada kalau tidak ada orang pandai. Kalau semua orang itu kaya, maka di dunia ini tidak ada orang miskin. Hubungan sederhana klausal, mata rantai, siklus dalam kehidupan di dunia ini adalah pada akhirnya satu kesatuan, harmoni, bukan merupakan cap hitam atau putih. Harmoni ini rusak, kalau politik itu hanya akhirnya sebagai wadah buta tuli dengan fanatisme ideologi dan kekuasaan. Saling ketergantungan harmonis yang konstruktif itulah yang harus di bangun dalam politik Indonesia / universal.
Partai politik membentuk jagonya masing-masing. Ada daerah atau wilayah yang dalam wadah negara, seharusnya kepentingan negara tidak mengikuti partai politik tertentu, namun dikuasai oleh kelompok politik tertentu, yang tujuannya bisa sama atau berbeda dengan tujuan bernegara. Siapapun yang memegang kekuasaan dalam suatu negara, sebenarnya pada saat ia memasuki otorisasi bernegara, harus melepaskan kepentingan individu, kelompok atau golongan. Dalam praktek birokrasi yang campur aduk dengan politik, terjadi pembunuhan karakter, para pejabat yang dianggap musuh politik, dianulir tidak berperan dan mati pelan pelan. Padahal secara profesional, pekerjaan itu tidak mengenal politik, profesi seseorang adalah bagian talenta yang diberikan oleh yang maha kuasa. Setiap orang memiliki talenta dan berkatnya tersendiri, ada yang hanya menjadi staf, atau orang biasa, ada yang menjadi kepala atau pimpinan. Pengelolaan oleh orang yang hanya bermodalkan otoritas politik akan menyebabkan mubazirnya banyak nilai dan sumberdaya negara.
Tidak pernah akan ada seorang pimpinan bilamana tidak ada orang yang dipimpinnya. Semua orang itu membentuk “nilai” tersendiri dan nilai itu setara dalam siklus kehidupan. Seorang tukang sampah, bila tidak berkerja akan menyebabkan sampah tertimbun dan akan mengganggu semua orang, siapapun dia dalam posisi sebagai boss, staf, atau orang biasa saja. Nilai seorang tukang sampah pada akhirnya tidak akan kurang atau sama menentukannya dengan siapa saja dalam perannya di dunia ini.
Politik Indonesia saat ini masih menyebabkan mubazirnya banyak sumber daya. Untuk menjadi seorang Kepala Daerah, saat ini bukan rahasia umum, jarang ada orang yang hanya cerdik-cendikia tanpa banyak harta, mampu menjadi Kepala Daerah. Kecuali kasus Aceh, dimana kepala daerah dimenangkan oleh orang yang dapat dikatakan bukan dari partai politik. Namun untuk menuju pola seperti di Aceh itu, kita ketahui sudah sangat banyak sumberdaya yang terkuras baik di Aceh sendiri, maupun nasional, dan pola Aceh bukan pola yang diterapkan secara nasional.

Legalitas Politik Yang Runyam.

Kebanggaan akan era demokrasi saat ini digunakan untuk legalitas menampilkan kegarangan dan intimidasi dengan dalih demokrasi. Sudah amat jarang kita melihat para politisi berbicara santun dan intelek dalam media massa. Dengan berpredikat politikus, nampaknya sudah menetapkan diri sendiri boleh menentukan hal baik-buruk bagi masyarakat tanpa banyak penekanan rasa tanggung jawab moral. Debat kusir politik dan demonstrasi sudah tidak lagi memilih isu yang prinsip bagi negara dan bangsa. Kadangkala masalah-masalah negara lain yang kurang berarti bagi negara Indonesia dapat menjadi alasan melakukan unjuk rasa, sementara isu krusial di negara sendiri tidak tersentuh.

Legalitas mengatasnamakan rakyat sudah biasa dilakukan politisi. Rakyat menjadi obyek dan bahan eksploitasi. Politis selalu berkata ada sejumlah besar rakyat dibelakang tindak tanduknya, meski pun menyangkut hal-hal yang bukan proletarian. Mengangkat jumlah massa manusia secara semu untuk mendukung tujuan yang juga samar-samar dengan agenda tersembunyi bagi kepentingan perorangan atau kelompok.

Legalitas menafsirkan kebenaran. Kebenaran didefinisikan atas dasar keinginan individu dan kelompok. Universalitas kebenaran dibuat secara lokal namun diagungkan dan dipromosikan untuk kebenaran universal.

Ajang kebebasan ekspresi abnormal. Beberapa politisi mengembangkan ekspresi melalui gaya modis yang diciptakan berdasarkan kaidah sara. Dengan menggunakan atribut-atribut / simbol yang merepresentasikan kaidah pemahaman menonjolkan hidup berkelompok dan anti nasionalis untuk mendapatkan porsi perhatian. Setiap peluang distorsi dalam peri kehidupan masyarakat dimanfaatkan untuk membangun pesona publik. Bila diperlukan dapat dilakukan melalui eksploitasi fiktif tentang agama, kepercayaan, takhyul dan mimpi.

Peluang mobilisasi massa. Politik menjadi salah satu alat paling mudah untuk melakukan mobilisasi massa untuk kepentingan sesaat. Cara mobilisasi politik saat ini telah memasuki fase penggalangan kekuatan dengan peluang melakukan tekanan tanpa tanggung jawab. Para operator lapangan dipersiapkan untuk tidak mengenal hierarki tanggung jawab dari aktor intelektual. Pola mobilisasi massa saat ini memasuki ajang ekonomi gaya baru. Kolaborasi dengan penyandang dana dan pembuat isu menjadi keseharian politik Indonesia. Tujuan personal asal ada biayanya untuk operator lapangan, dapat dikembangkan menjadi isu besar. Lihat saja para pendemo yang mendapatkan nasi kotak dan minuman gelas serta upah itu. Kontroversi dengan ide murni yang strategis dan besar, biasanya hanya dilakukan oleh segelintir orang dan hampir tak ada gemanya.

Kerunyaman politik Indonesia meningkat dengan banyaknya jumlah partai dengan agendanya masing-masing. Kebulatan tekad dan suara yang menyatu, kompak dan kuat amat sulit lagi dilakukan, bahkan untuk hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan jumlah partai politik yang amat banyak di Indonesia, keutuhan dalam hal apa saja amat sulit di galang. Contohnya ketika menghadapi persoalan dengan Singapura, Malaysia, Timor-Timor, Australia, Amerika dan lain-lain, belum terlihat adanya suara yang sama dalam membela kepentingan nasional. Tidak terlihat adanya suatu sinergi yang kuat yang mampu di galang dari masyarakat Indonesia yang merupakan negara berpenduduk terbesar di dunia ini. Secara parsial rasa nasionalisme terpuruk dalam kepingan / serpihan politik yang terserak dan sulit di himpun dalam partai politik yang tumbuh menjamur.

Palangka Raya, 24 November 2007.

No comments: