Thursday 28 June 2007

NASIB PEGAWAI NEGERI SIPIL

NASIB PEGAWAI NEGERI SIPIL
Sebuah otokritik dari PNS di daerah terpencil.


Nasib Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Republik tercinta ini amat sangat tidak jelas!.


Lho, kok tidak jelas?.


Tentu akan banyak bantahan. Bagi masyarakat awam yang melihatnya pada kulit luar, PNS menjadi tempat peluang baik untuk menjadi kaya. Itu karena PNS yang memperoleh tempat basah, mondar-mandir di depan khalayak dengan minimal mengendarai motor-motor dari berbagai merek, dari yang paling mahal, misalnya Harley, sampai Bebek-bebek yang ngaciiiiir ….!!!!. Lalu yang lain mengendarai sedan Volvo, BMW dan lain-lainnya …., sesuai dengan kebasahan tempat kerja mereka. Kemudian kebanyakan pejabat, dari yang kecil sampai besar dapat memiliki rumah dari sederhana sampai keren. Dengan berbagai cara …. Sekali lagi, dengan berbagai cara. Dan beragam contoh lainnya yang secara kasat mata memperlihatkan beberapa PNS menjadi kaya mendadak!!!.

Lalu, tidak salah, kebanyakan orang memandang PNS itu adalah karier berusaha yang amat bagus untuk menjadi kaya.

Saudara-saudari, harap jangan melihat PNS itu pada sisi sinetron yang gemerlap. Karena PNS itu beragam jenis, berdasarkan TUPOKSI-nya, atau Tugas Pokok dan Fungsinya. Coba lihat PNS yang berkarier sebagai guru (kecil), PNS golongan rendahan, PNS jujur, PNS Linmas (Hansip) yang suka menjadi model orang bego dalam sinetron kita (ma’af untuk para Hansip) dan PNS “terjepit” bingung memilih ikut korupsi atau bertahan apa adanya sampai pensiun … dan lain-lain.

PNS itu berada dalam sistem, apabila sistem itu menghendaki mereka menjadi apa saja, maka mereka manut saja, karena kalau tidak manut, akan terkucil. Terkucil-nya pun kadang-kala aneh, yaitu biasanya tidak di pecat, tetap masuk kantor, tetapi tidak mendapatkan arahan dan perhatian pimpinan, dibiarkan sendiri sampai dia stressssss, akses-nya ke sumberdaya pemerintahan di tutup, tidak ada surat penting yang diproses-nya, tidak ada rapat penting yang ditugaskan untuk dihadiri, tidak ada senyum manis dari atasan dan lain-lain. PNS yang mengalami kategori ini lama kelamaan berprinsip “selama gaji saya tidak di stop, saya tidak perduli, yang penting kerabat, keluarga, lingkungan dan masyarakat masih melihat saya berangkat ke dan pulang dari kantor setiap hari”.

PNS masa Orde Baru, dimanfaatkan partai tertentu, untuk membuat berbagai hal dimasyarakat yang kemudian kalau bagus dinyatakan sebagai Karya Partai tersebut. Tidak manut ke partai, akan diberi berbagai cap menakutkan dan mengalami nasib seperti tersebut di atas. Dan lain-lain …… nasibnya.

Pada masa peralihan sistem / transisi dari ORBA, beberapa perusuh dengan sengaja mengincar orang berpakaian PNS dan ada kasus beberapa PNS di suruh mencopot bajunya di tengah lokasi publik. Para hakim jalanan itu memandang salah satu biang kerok utama krisis nasional pada saat itu adalah PNS para “pangreh pradja” itu ???.

Beberapa PNS masa Gus Dur, seolah-olah kejatuhan berkah, beberapa orang dari mereka memperoleh peluang naik pangkat amat cepat (ada yang dalam se-bulan naik dua tingkat), sebuah penerapan peraturan tanpa adanya alasan yang jelas. PNS lain yang “sial” tidak berani ngomong, peraturan pemerintah, walau pun yang dahulu “staf” dia, tiba-tiba menjadi atasannya. Dalam kondisi tersebut, tidak ada “demo” dari pihak mana pun untuk itu. Masyarakat umum dan masyarakat PNS diam seribu bahasa, walau pun ketidakadilan terjadi di depan mata terhadap PNS.

Pada masa Habibie, ada PNS yang dinaikkan pangkatnya “auzubilah minzaliq”, langsung ke tataran “jenderal” (kalau dianalogi dengan pangkat tentara). Menurut beliau, karena pegawai tersebut amat hebat prestasi-nya (anehnya tidak jelas prestasi apa) dan akan di ambil Luar Negeri bila tidak diberi subsidi kenaikan pangkat yang dahsyat, dan bukan karena adanya hubungan “khusus”. PNS lain yang kurang beruntung diam seribu bahasa, merangkat setapak demi setapak, meski berkarya amat baik, tidak terlihat oleh sistem. Sekali lagi, tidak ada “demo” membela nasib PNS yang teraniaya lainnya.

Di jaman Ibu Megawati, salah satunya ada Peraturan Pemerintah No. 8, yang sedang dan akan merampingkan jabatan struktural PNS. Berdasarkan analisis jabatan PNS, akan terjadi kehilangan jabatan struktural 50-60 persen, apabila hal itu diterapkan secara standar dan penuh. Peraturan ini tidak didasarkan atas “fit and proper test”. Tidak melihat jabatan berdasarkan tupoksi-nya, melainkan untuk “efisiensi” keuangan negara. Dengan mengurangi jabatan struktural akan terjadi penghematan anggaran negara cukup besar. Tidak ada pertimbangan tentang jumlah PNS di Indonesia ini belum seimbang dengan ratio pelayanannya (jumlah penduduk). Dan umumnya unit yang dieliminasi atau dilikuidasi itu unit yang tidak menggarap sektor dominan, unit kerja lemah yang semestinya perlu dikuatkan sebagai indikator keberhasilan pembinaan sektor dan aparatur. Aparatur yang lemah menjadi semakin lemah, karena dipandang tidak atau kurang penting dalam sistem. Sekali lagi, tidak ada “demo”, PNS manut saja dan oke-oke saja dengan apa yang dihadapi dan masa depan.

PNS juga digunakan untuk mempengaruhi inflasi, dengan menambah sedikit saja gaji PNS, maka efek daya beli mereka yang serentak di seluruh Indonesia dapat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa. Selanjutnya ada Undang Undang Netralitas PNS dalam Pemilu, yang menandai ketidak percayaan lembaga yang membuat UU tersebut tentang “masih adanya hati nurani PNS dalam berpolitik”. Sekali lagi, tidak ada “demo” tentang hal ini…. PNS pasraaaah ….!!!. Biasanya ada gaji bulan ke-13 (angka siaaaal !!!), kenapa tidak ada bulan ke -14 ???.

Kemudian ada KORPRI, yang para pengurus top-nya di tingkat Nasional akan seolah amat sibuk memperjuangkan nasib PNS, pada saat mendekati pembentukkan kabinet.

PNS itu adalah “jongos” rakyat dan pemerintah, tetapi juga bagian tubuh dan jiwa rakyat dan pemerintah itu sendiri. PNS tidak pernah mendapatkan hiburan di media massa, sebagaimana acara hiburan bagi TNI di TVRI. PNS mencari sendiri-sendiri hiburannya masing-masing. Media massa dengan dominan menyampaikan kejelekan PNS. Kalau gajinya naik, dianalisis salah. Gajinya turun, juga salah. Alhasil, pada saat Perjalanan Dinas PNS dengan kreatif memanfaatkannya untuk mendapat doku, sekaligus mendapatkan hiburan, maka diupayakanlah Surat Perintah Perjalanan Dinas yang sebanyak-banyaknya ke (mana yaaa Masss ???) …. Yaitu ke Jakarta, kota metropolitan yang menjanjikan segalanya itu. Dalam era otonomi penuh Kabupaten – Kota ini, maka para pejabat dan stafnya bersama-sama dengan PNS di Pusat (Jakarta) secara kompak membuat berbagai acara yang dilakukan di kota-kota besar di Indonesia ini. Persoalan yang dapat diselesaikan melalui telepon, internet atau media lainnya, dengan mudah di buat menjadi sebuah rapat Nasional di Jakarta atau kota besar lainnya.

Ada kisah yang mungkin lucu.


Yaitu, pada saat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengundang para Bupati dan Walikota beserta pejabat teras lainnya se Indonesia untuk pengarahan di Jakarta beberapa tahun lalu, seorang Sekretaris Daerah Kabupaten datang terlambat memasuki ruang rapat koordinasi. MENPAN langsung menegur dan menanyakan yang bersangkutan “apakah Saudara jarang ke Jakarta?”. Dengan spontan yang bersangkutan menjawab “Ya. Pak, karena Saya bertugas di daerah terpencil !”. Kebetulan saya bareng di pesawat, ketika sebagian rombongan pejabat tersebut pulang ke daerah. Mereka dengan geli bercerita: “MENPAN tertipu !!!, dia tidak tahu bahwa Sekda tersebut pada masa otonomi Kabupaten ini hampir se Minggu se kali ke Jakarta dan punya rumah di Jakarta !!!!”. Dan semuanya tertawa terbahak-bahak.

Apa yang terjadi dengan PNS ?.

Secara pelan dan pasti, sebagian besar PNS telah mengalami akulturasi budaya baru. Yaitu “psikomotorik epilepsi autodidak”.
Dalam kondisi ini, sebagian besar PNS belajar dari berbagai pengalaman yang dilihatnya dengan kasat mata, yaitu berbagai peristiwa yang tidak adil atau tidak normal dilingkungannya dan masyarakat, sebagaimana beberapa uraian di atas. Dalam kondisi yang normal (jujur dan adil) sebuah kedudukan diperoleh karena prestasi yang baik dan berharga bagi korps dan atau bagi masyarakat. Tetapi mereka tahu, apabila melawan keadaan itu, untuk membuatnya wajar dan normal, akan menyebabkan taruhan hilangnya peluang mereka untuk mengejar dan memperoleh kedudukan dalam sistem yang telah dalam kondisi “akut”. Dan untuk bangkit kembali, akan teramat sulit. Masyarakat pun kebanyakan menggiring PNS menjadi sakit, seorang pejabat yang mengendarai motor butut atau rumahnya biasa saja, dikatakan pejabat yang “tolol”, tidak bisa mencari duit.
Lama-kelamaan, mereka menganggap dan merasa serta terbiasa “semua hal yang menyimpang itu adalah hal yang wajar”. Pada saat melihat terjadinya penyimpangan itu, reaksi mereka biasa saja. Mereka akan bangkit, bila ada seseorang yang giat berkerja, gigih dan pandai dilingkungan kerjanya yang ada gejala akan merubah keadaan yang abnormal tersebut kepada normal. Secara serentak mereka akan melakukan jurus-jurus irasional untuk menghambat adanya rivalitas prestasi. Maka apabila satu orang waras, bersama sepuluh orang gila, orang yang waras itulah yang di tuding kesepuluh orang gila itu sebagai “orang gila”. Yang mereka kenal akhirnya hanya rivalitas wan-prestasi. Semakin banyak seorang membuat ketidakbenaran, akan lebih cepat dia mendapatkan perhatian, karena keberaniannya berbuat “nakal”. Maka di Indonesia ini, banyak pejabat yang “nakal” dengan cepat mendapat perhatian dan memperoleh kedudukan. Anak nakal selalu diperhatikan orang tua-nya … lama kelamaan anak yang tidak nakal, di bawah sadar, berkesimpulan untuk mendapatkan sesuatu, maka harus berbuat nakal. Bahkan lebih fatal, seorang rekan saya mengatakan, untuk memimpin masyarakat yang abnormal, maka mungkin diperlukan seorang yang “tidak waras”.
Seorang perawat pada saat awal mulai bekerja di rumah sakit pemerintah, biasanya amat perhatian dengan pasiennya. Karena sistem rumah sakit pemerintah tidak memberikan insentif / subsidi biaya untuk refreshing mental melalui liburan atau mendapatkan hiburan yang layak untuk menguatkan memori kerja awal yang baik dan benar tadi, lama-kelamaan jerit-tangis para pasien di anggap hal lumrah oleh perawat tadi, dan memorinya telah terisi dengan budaya baru, yaitu “rumah sakit memang tempat orang yang sedang menjerit dan menderita”. Tidak perlu ada pemikiran lain, tidak perlu bersusah payah menanganinya, selama pasien tidak melakukan keonaran fisik.
Ada juga PNS yang hampir tidak pernah mengambil cuti sampai pensiun. Ketika ditanyakan alasannya, di jawab dengan gamblang: “Siapa tahu ada rejeki doku datang, pas pada saat saya mengambil cuti…. Khan, saya tidak akan kebagian”. Nah, loe.

Berbagai pernak-pernik kegagalan PNS tidak menjadikan orang banyak berhenti berburu untuk menjadi PNS. Di samping kurangnya lapangan kerja, mereka beranggapan pekerjaan PNS itu paling mudah dan aman. Sampai pensiun tetap akan mendapatkan gaji. Tidak perlu berprestasi atau berupaya berprestasi. Yang diperlukan hanyalah upaya membangun sistem KKN sejak dini. Maka saat otonomi daerah ini, di samping ada kebaikannya, coba saja di lacak, penerimaan pegawai baru di daerah yang langsung dilakukan oleh daerah, sarat dengan problematika. Bupati / Walikota tertentu dengan sistematis menerima sanak-familinya untuk menjadi PNS dan kontraktor. Pemerintah pusat tutup mata, karena katanya sudah ada UU Otonomi Daerah. Persoalan di Daerah selayaknya di urus daerah saja. Pemerintah pusat sudah terlalu banyak menanggung masalah. Alhasil, dari kondisi ini, amat sulit mendapatkan PNS yang tauladan baik dan benar.

Subsidi kegagalan mewarnai PNS. Contohnya, banyak proyek yang amburadul akibat kelalaian Primpronya yang PNS tidak akan digubris selama setorannya lancar ke atasan. Bahkan, dananya akan di tambah lagi tahun berikutnya. Kebanyakan PNS yang pintar melobi tapi tidak pintar bekerja, lebih besar peluangnnya mendapat jabatan. Sehingga sikab mensubsidi sikab buruk itu di pakai secara umum untuk mendapat jabatan. Dan sebagainya …. dan sebagainya …..

Lalu siapa yang mengajari kesemuanya itu untuk PNS.
Apakah tidak kacian, ya PNS itu ????.
Lalu, benarkah teori saya tentang “psikomotorik epilepsi autodidak” tadi ????.

Psikomotorik = daya gerak mental.
Epilepsi = Ayan = Gila babi = trans = kesurupan.
Autodidak = belajar sendiri tanpa bimbingan siapa pun.

Selamat menjadi PNS. Terserah Anda dan ma’af bila saya salah dan berlebihan.

----Tamat.----

No comments: