Saturday 24 November 2007

DILEMMA DEMOKRASI ALA INDONESIA

DILEMMA DEMOKRASI ALA INDONESIA

Renungan Seorang PNS tentang Pencapaian Pola demokrasi Indonesia yang masih dalam proses perjalanan panjang.

Kebanggaan akan hadirnya Indonesia sebagai “salah satu” negara demokrasi di dunia ini, bila dilihat secara dangkal akan membuat kita merasa amat senang. Namun kesenangan itu akan menjadi amat mahal dan menentukan jalannya negara dan bangsa Indonesia untuk mencapai taraf hidup yang rata-rata layak. Kita tentu tidak bisa mengkonsumsi politik untuk menghibur dan mengenyangkan perut yang kosong.

Saat ini, bila kita tanya tentang apa yang dimaksud dengan demokrasi kepada para ahli politik di Indonesia ini, maka akan ada banyak jawaban dari mereka, mulai dari yang paling sederhana sampai paling nyelimet. Hampir tiap hari media massa melansir tentang ide demokrasi. Bahkan nampaknya akan ada suatu perjalanan panjang perpolitikan di negara ini untuk mencapai satu kesepakatan tentang pola demokrasi Indonesia.

Kebutuhan akan demokrasi di Indonesia, dalam prakteknyapun terserah kepada masing-masing partai politik, dimana pada saat suatu partai telah berhasil menjadi partai yang diakui secara resmi, maka nampaknya secara otomatis pihak ini akan berhak melahirkan teori politik baru dan pengertian demokrasi baru.

Banyak politikus orang Indonesia, selalu berkata demokrasi Indonesia itu berbeda dari demokrasi di negara lain. Kita selalu bangga mengatakan bahwa kita adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Praktek Demokrasi Indonesia.

Belum Ada Batas Kewajarannya.

Belum ada norma atau konsensus politik yang menjamin demokrasi di Indonesia itu dalam prakteknya dapat dikalkulasi memberikan parameter nuansa kewajaran yang sejuk bagi mayoritas dan minoritas. Wadah untuk menempatkan ide demokrasi yang dapat menjadi acuan normatif dan universal bagi semua orang belum ada bentuknya. Semua politikus masih menawarkan dan memaksakan pemahaman masing-masing dan kebanyakan menutup diri akan interaksi sosial non-kelompok yang menjadi ciri utama demokrasi.
Adanya keanehan dan kontroversi dalam individu / kelompok politik di Indonesia, yaitu kecenderungan mereka bahkan makin terisolir dan egois akan faham politiknya. Secara normatif hal ini bertentangan dengan hakekat politik itu sendiri, yaitu bersifat sosial. Politik amat berbeda dengan bidang lain, yaitu politik itu adalah bukan anti sosial, melainkan sebuah interaksi banyak otak, komunikasi, tawar menawar, dinamika kehidupan yang amat variatif. Politik dilakukan oleh banyak orang dalam suatu khasanah dinamis yang enerjik untuk mencapai tujuan bersama. Berbeda dengan bidang lain, misalnya perencanaan. Perencanaan pada dasarnya adalah kegiatan yang anti sosial, karena hanya di buat oleh seorang atau beberapa orang tertentu saja, bahkan sebuah konsep rencana induk pun pada akhirnya di buat oleh beberapa orang tenaga yang ahli saja. Perencanaan ini adalah sebuah cetak biru, menghindari konsep politik yang berbelit-belit, perencanaan tegak lurus mencapai tujuan. Perencanaan mengutamakan efisiensi dan efektivitas. Politik bergerak berbelit-belit dalam mencapai tujuan melalui porses yang amat variatif seperti tersebut di atas. Politik itu amat “normatif”, artinya sangat tidak berbentuk secara fisik. Batasannya adalah hati-nurani yang bersih, jujur dan adil. Tidak ada yang salah dengan politik bila dilakukan dengan cara / batasan ini.
Apabila penerapan politik tidak bisa memberi batas yang jelas dengan penerapan bidang lainnya, maka kita akan selalu menghadapi dilemma politik yang tidak berkesudahan. Parameter politik sewajarnya yang dapat diacu secara nasional, harus ada. Terutama dalam hal penyelenggaraan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bahwa jangan terjadi terus menerus adanya intervensi bidang-bidang yang hakekatnya bukan menjadi bidang politik. Dalam hal ini pemerintahan Indonesia itu sudah nyata terdiri dari legislatif (acuan pokonya adalah politik), eksekutif (acuan pokoknya adalah penerapan pelaksanaan) dan yudikatif (acuan pokonya adalah penerapan norma-norma).
Jembatan yang harus dibentuk diantara fungsi-fungsi tersebut adalah akumulasi energi dan materi serta intelektual membentuk jalur bebas hambatan untuk mencapai tujuan negara Indonesia sebagai acuan tunggal.

Politik Yang Menguras Sumberdaya.

Kita belum pernah menghitung berapa biaya politik di Indonesia ini, namun secara kasat mata dapat dinilai bahwa biaya politik di negara kita amat besar dan berdampak amat nyata terhadap pencapaian tujuan negara dan berakibat nyata terhadap tingkat kehidupan manusia Indonesia.
Sejak era Soekarno, sampai saat ini, pergulatan politik Indonesia tidak pernah selesai, kadangkala dalam perjalanannya hampir-hampir membawa negara ini runtuh. Para politikus yang ada tidak pernah jera selalu mengulang-ulang dan menambah panjangnya medan juang dan pertempuran politik itu disegala penjuru kehidupan.
Apakah sampai terjadi kita menjadi seperti bangsa Palestina dan Israel yang sudah sejak lahir tidak mengenal lagi arti perdamaian. Menjadi bahagia dan bergairah menghadapi perang daripada kedamaian.
Instrumen politik kita dibuat selalu untuk menciptakan ketidakpastian disegala penjuru kehidupan. Para politikus kita masih terjerat dalam lingkaran setan politik yang terbentuk terlampau kuat sehingga menutup perkembangan bidang lainnya.
Pertumbuhan politik telah menghilangkan banyak sekali aspek teknis yang seharusnya dominan dalam menentukan efisiensi dan efektifitas atau kinerja suatu bangsa. Bayangkan saja misalnya yang terjadi saat ini, untuk menempatkan seseorang dalam jabatan teknis, masih saja dilakukan dengan pertimbangan politik. Saat ini di tingkat nasional, seorang profesional dan karier dalam lembaga pemerintahan amat langka menjadi seorang Menteri atau pejabat tinggi lainnya. Menteri telah menjadi politikus, dan ke daerah hal yang sama telah berlanjut, yaitu kepala dinas / badan / unit kerja sudah menjadi ajang perebutan politisi.
Telah terlihat bahwa terjadi tahun ini 2007, bangsa-bangsa lain yang dahulunya hancur karena politik, saat ini telah melampaui perkembangan parameter pembangunan Indonesia.
Politik Indonesia sampai saat ini belum mampu melakukan penghematan sumberdaya nasional, malah mengurasnya dan menyebabkan lambannya pencapaian taraf kelayakan hidup masyarakat luas.

Otorisasi Politik Biaya Tinggi.

Politik Indonesia dipraktekkan dengan otoriter. Adanya konsepsi lawan / musuh / mitra / kawan politik. Dalam pemilihan legislatif dan eksekutif, meski normanya sudah di buat melalui perundangan / peraturan, namun nuansa dan praktek politik tetap sama. Amat banyak sumberdaya sudah dihabiskan untuk arena politik. Pemilihan langsung telah menyerap dana triliun rupiah yang seharusnya akan amat bermanfaat bagi masyarakat luas bila dikelola dalam konsepsi politik yang adil, namun bukti hasilnya adalah munculnya kekuasaan baru yang masih menganggap siapa yang kalah dalam arena politik adalah lawan politik yang kurang bahkan tidak perlu lagi dianggap sebagai bagian sistem dalam negara. Padahal secara harafiah, pemenang apapun dalam dunia ini muncul karena adanya pihak yang kalah. Secara sederhana, orang miskin itu menciptakan orang kaya !!!. Presiden, Gubernur, Bupati / Walikota itu ada karena adanya pihak lain yang kalah dalam pemilihan akan kedudukan itu. Pihak yang kalah ini adalah pihak yang secara langsung dan tidak langsung memberikan legitimasi adanya pihak yang menang. Orang bodoh tidak akan ada kalau tidak ada orang pandai. Kalau semua orang itu kaya, maka di dunia ini tidak ada orang miskin. Hubungan sederhana klausal, mata rantai, siklus dalam kehidupan di dunia ini adalah pada akhirnya satu kesatuan, harmoni, bukan merupakan cap hitam atau putih. Harmoni ini rusak, kalau politik itu hanya akhirnya sebagai wadah buta tuli dengan fanatisme ideologi dan kekuasaan. Saling ketergantungan harmonis yang konstruktif itulah yang harus di bangun dalam politik Indonesia / universal.
Partai politik membentuk jagonya masing-masing. Ada daerah atau wilayah yang dalam wadah negara, seharusnya kepentingan negara tidak mengikuti partai politik tertentu, namun dikuasai oleh kelompok politik tertentu, yang tujuannya bisa sama atau berbeda dengan tujuan bernegara. Siapapun yang memegang kekuasaan dalam suatu negara, sebenarnya pada saat ia memasuki otorisasi bernegara, harus melepaskan kepentingan individu, kelompok atau golongan. Dalam praktek birokrasi yang campur aduk dengan politik, terjadi pembunuhan karakter, para pejabat yang dianggap musuh politik, dianulir tidak berperan dan mati pelan pelan. Padahal secara profesional, pekerjaan itu tidak mengenal politik, profesi seseorang adalah bagian talenta yang diberikan oleh yang maha kuasa. Setiap orang memiliki talenta dan berkatnya tersendiri, ada yang hanya menjadi staf, atau orang biasa, ada yang menjadi kepala atau pimpinan. Pengelolaan oleh orang yang hanya bermodalkan otoritas politik akan menyebabkan mubazirnya banyak nilai dan sumberdaya negara.
Tidak pernah akan ada seorang pimpinan bilamana tidak ada orang yang dipimpinnya. Semua orang itu membentuk “nilai” tersendiri dan nilai itu setara dalam siklus kehidupan. Seorang tukang sampah, bila tidak berkerja akan menyebabkan sampah tertimbun dan akan mengganggu semua orang, siapapun dia dalam posisi sebagai boss, staf, atau orang biasa saja. Nilai seorang tukang sampah pada akhirnya tidak akan kurang atau sama menentukannya dengan siapa saja dalam perannya di dunia ini.
Politik Indonesia saat ini masih menyebabkan mubazirnya banyak sumber daya. Untuk menjadi seorang Kepala Daerah, saat ini bukan rahasia umum, jarang ada orang yang hanya cerdik-cendikia tanpa banyak harta, mampu menjadi Kepala Daerah. Kecuali kasus Aceh, dimana kepala daerah dimenangkan oleh orang yang dapat dikatakan bukan dari partai politik. Namun untuk menuju pola seperti di Aceh itu, kita ketahui sudah sangat banyak sumberdaya yang terkuras baik di Aceh sendiri, maupun nasional, dan pola Aceh bukan pola yang diterapkan secara nasional.

Legalitas Politik Yang Runyam.

Kebanggaan akan era demokrasi saat ini digunakan untuk legalitas menampilkan kegarangan dan intimidasi dengan dalih demokrasi. Sudah amat jarang kita melihat para politisi berbicara santun dan intelek dalam media massa. Dengan berpredikat politikus, nampaknya sudah menetapkan diri sendiri boleh menentukan hal baik-buruk bagi masyarakat tanpa banyak penekanan rasa tanggung jawab moral. Debat kusir politik dan demonstrasi sudah tidak lagi memilih isu yang prinsip bagi negara dan bangsa. Kadangkala masalah-masalah negara lain yang kurang berarti bagi negara Indonesia dapat menjadi alasan melakukan unjuk rasa, sementara isu krusial di negara sendiri tidak tersentuh.

Legalitas mengatasnamakan rakyat sudah biasa dilakukan politisi. Rakyat menjadi obyek dan bahan eksploitasi. Politis selalu berkata ada sejumlah besar rakyat dibelakang tindak tanduknya, meski pun menyangkut hal-hal yang bukan proletarian. Mengangkat jumlah massa manusia secara semu untuk mendukung tujuan yang juga samar-samar dengan agenda tersembunyi bagi kepentingan perorangan atau kelompok.

Legalitas menafsirkan kebenaran. Kebenaran didefinisikan atas dasar keinginan individu dan kelompok. Universalitas kebenaran dibuat secara lokal namun diagungkan dan dipromosikan untuk kebenaran universal.

Ajang kebebasan ekspresi abnormal. Beberapa politisi mengembangkan ekspresi melalui gaya modis yang diciptakan berdasarkan kaidah sara. Dengan menggunakan atribut-atribut / simbol yang merepresentasikan kaidah pemahaman menonjolkan hidup berkelompok dan anti nasionalis untuk mendapatkan porsi perhatian. Setiap peluang distorsi dalam peri kehidupan masyarakat dimanfaatkan untuk membangun pesona publik. Bila diperlukan dapat dilakukan melalui eksploitasi fiktif tentang agama, kepercayaan, takhyul dan mimpi.

Peluang mobilisasi massa. Politik menjadi salah satu alat paling mudah untuk melakukan mobilisasi massa untuk kepentingan sesaat. Cara mobilisasi politik saat ini telah memasuki fase penggalangan kekuatan dengan peluang melakukan tekanan tanpa tanggung jawab. Para operator lapangan dipersiapkan untuk tidak mengenal hierarki tanggung jawab dari aktor intelektual. Pola mobilisasi massa saat ini memasuki ajang ekonomi gaya baru. Kolaborasi dengan penyandang dana dan pembuat isu menjadi keseharian politik Indonesia. Tujuan personal asal ada biayanya untuk operator lapangan, dapat dikembangkan menjadi isu besar. Lihat saja para pendemo yang mendapatkan nasi kotak dan minuman gelas serta upah itu. Kontroversi dengan ide murni yang strategis dan besar, biasanya hanya dilakukan oleh segelintir orang dan hampir tak ada gemanya.

Kerunyaman politik Indonesia meningkat dengan banyaknya jumlah partai dengan agendanya masing-masing. Kebulatan tekad dan suara yang menyatu, kompak dan kuat amat sulit lagi dilakukan, bahkan untuk hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan jumlah partai politik yang amat banyak di Indonesia, keutuhan dalam hal apa saja amat sulit di galang. Contohnya ketika menghadapi persoalan dengan Singapura, Malaysia, Timor-Timor, Australia, Amerika dan lain-lain, belum terlihat adanya suara yang sama dalam membela kepentingan nasional. Tidak terlihat adanya suatu sinergi yang kuat yang mampu di galang dari masyarakat Indonesia yang merupakan negara berpenduduk terbesar di dunia ini. Secara parsial rasa nasionalisme terpuruk dalam kepingan / serpihan politik yang terserak dan sulit di himpun dalam partai politik yang tumbuh menjamur.

Palangka Raya, 24 November 2007.

Wednesday 11 July 2007

PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM KANCAH POLITIK INDONESIA

PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM KANCAH POLITIK INDONESIA

Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam suatu negara menentukan kemajuan dan kelangsungan hidup negara tersebut. Apa kebenaran dari pernyataan ini ?. Pasti mayoritas orang Indonesia akan tertawa bila disodorkan dengan pernyataan ini. Karena sejak lahirnya negara Republik Indonesia, kebanyakan orang menganggap PNS hanyalah sebuah lapangan kerja biasa selayaknya banyak lapangan kerja lainnya yang ada. Hanya saja, PNS dianggap sebuah lapangan kerja yang menjanjikan hidup lebih mudah dan ditanggung oleh negara. Pihak non PNS sering menyatakan hidup menjadi PNS itu adalah hidup yang amat mudah dan tidak perlu bekerja keras, gaji dibayar dimuka, soal hasil kerjanya, semuanya bisa di atur.

Masyarakatpun telah menjadi akrab dengan predikat seorang PNS. Setiap persoalan yang menyangkut PNS, apakah itu penting atau tidak penting bagi negara, tidak pernah menjadi hal yang serius untuk ditanggapi. Persoalan produktivitas dan semangat pengembangan kemampuan pelaksanaan tugas tidaklah pernah menjadi hal yang serius dipikirkan oleh negara. Bila menjadi PNS, hal yang mendasar dilakukan, asal anda rajin dan aktif melakukan apel pagi dan siang, memastikan pengisian daftar hadir setiap hari kerja, lalu menyenangkan hati pimpinan dengan berbagai taktik dan siasat yang meskipun relasinya tidak berhubungan dengan kinerja, sudah cukup menjadi suatu prasyarat hidup anda akan tenang dan damai sampai ajal menjemput.

Seorang PNS yang berkerja lebih keras dengan baik, jujur dan benar amat jarang mendapatkan penghargaan. Setiap tahun beberapa orang PNS selalu dijadikan asesori dalam peringatan hari kemerdekaan dengan pemberian tanda jasa berupa Satyalencana Karya Satya. Bahwa di balik layar, mendapatkan predikat ini lebih banyak diberikan kepada pegawai yang secara administratif mampu melakukan pendekatan agar dapat masuk ke dalam kategori pegawai setia bagi negara. Siapa yang mau dan mampu mengikuti proses penjaringan para pegawai “setia” tersebut, akan mendapatkan predikat tersebut dari negara. Dapat diteliti, bahwa secara nyata amat langka adanya hubungan predikat “setia” tersebut dengan kinerja yang unggul dan terbaik bagi negara. Banyak pegawai yang setia dan tekun serta berprestasi di pelosok negeri ini, sampai mati pun tidak mendapatkan predikat “setia” tersebut kalau tidak secara serius mengajukan diri sendiri, dan kalaupun pegawai seperti ini diajukan oleh pimpinan, hanya karena kebutuhan mencari simbol untuk ditampilkan saat merayakan hari kemerdekaan. Penyelenggaran negara masih terjebak akan kebutuhan simbol-simbol yang semu untuk ditampilkan dalam merayakan hari kemerdekaan. Dalam upcara penyerahan tanda jasa tersebut, biasanya pegawai lain lebih banyak diam atau kadangkala secara tak sadar bersama-sama menggerutu, karena tahu persis akan kelakuan pegawai yang mendapatkan tanda jasa tersebut dalam kerjanya sehari-hari.

Menjadi PNS tidak perlu berpikir serius, keseriusan hanya diperlukan bila sudah menyangkut upaya mencari uang tambahan gaji yang selalu dikatakan tidak cukup untuk satu bulan itu.

Kemampuan PNS akan muncul lebih dominan pada saat menyusun dan upaya menyukseskan memperoleh anggaran. Dalam proses ini seorang pegawai akan beripir keras mencari kegiatan-kegiatan yang akan “disenangi” oleh atasan. Berbagai kegiatan yang harus amat mudah dilaksanakan. Prinsip “ekonomi” yaitu dengan kinerja minimal mendapatkan untung maksimal. Maka semua angka keuangan kegiatan diupayakan di “blow up” atau “marked up”. Upaya ini secata sistematis telah dimulai dalam siklus tahunan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan tahunan. Pada tahap perencanaan, dilakukan penyusunan harga dasar yang akan menjadi pedoman dalam penyusunan rencana tahunan dan pembiayaannya. Tidak diperlukan upaya survey atau penelitian tentang harga dasar untuk menyusun harga dasar, yang dilakukan adalah dengan mudah melakukan perkiraan di atas meja, tentang perubahan dan nilai sesuatu barang dan jasa yang akan diperlukan datanya untuk menyusun rencana pembiayaan tahunan. Komponen harga dasar yang baru muncul di pasar akibat perkembangan yang terjadi di dunia, amat jarang terekam dalam buku “basic prise” untuk perencanaan pembiayaan. Apabila suatu unit kerja melakukan perencanaan tentang hal baru dan muatan baru dalam perencanaan pembiayaan tahunannya, maka mereka harus mencari sendiri data dan informasinya sendirian. Bila seorang pegawai ingin melakukan “inovasi” dengan melakoni hal-hal yang baru demi kemajuan, maka ia harus bersiap melakoninya sendirian dan bila kurang kuat mental dalam perjalanannya dan gagal, biasanya ia menjadi apatis dan menjadi bahan lelucon dan rumor. Menjadi PNS seolah-olah tidak perlu menjadi seorang yang serius, tidak perlu berpikir luas dan maju. Bila berpikiran luas dan maju, anda akan menjadi musuh atau bahan rumor di kantor anda. Pemikiran yang amat mudah diterima luas dalam lingkup PNS adalah melakukan kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan umum pegawai, harus amat mudah dilakukan, namun harus dipromosikan ke luar / ke masyarakat seolah-olah hal itu pekerjaan yang amat penting bagi negara, dengan memberi bumbu promosi di media massa dan kalau mungkin secara menggebu-gebu. Kegiatan juga harus memikirkan untung dalam pelaksanaannya. Harus direncanakan secara apik agar hal yang akan dilaksanakan tersebut mengakomodasi semua aspek yang akan mengerumuni kegiatan tersebut, berupa biaya-biaya siluman bagi para pelaksana kegiatan, personil pengawas, panitia lelang, petugas inventaris barang dan jasa, pimpinan dari kecil sampai yang besar, serta para pengganggu yang perlu di tutup mulutnya dengan uang. Penyusun rencana pembiayaan juga harus mampu menghadapi hambatan yang datang dalam proses musyarawah perencanaan pembangunan. Dalam proses ini apabila penyusun rencana pembiayaan tidak mampu merayu dengan janji-janji muluk atau memberi sogokan bagi lembaga yang menentukan suksenya rencana tersebut, maka dapat dipastikan kegiatan yang diajukan akan dianulir atau hilang sama sekali dalam prosesnya. Unit kerja yang secara tradisional mendapatkan anggaran besar setiap tahunnya, biasanya akan menjadi unit kerja favorit untuk mendapatkan anggaran tahunan yang lebih besar setiap tahun. Sedangkan unit kerja baru atau unit kerja yang terbiasa gurem dalam hal anggaran, maka akan amat langka akan mampu menambah / menaikkan anggaran tahunannya.

Mengapa demikian ?.

Dalam perencanaan pembangunan di Indonesia dari awal sampai ke kini, skala prioritas dan sektor dominan yang menentukan akhir kebutuhan alokasi anggaran. Prioritas dan dominan itu bukan mayoritas berdasarkan hasil pengkajian yang kuat, melainkan kebih banyak dari kebutuhan pimpinan yang berkuasa saat itu. Bila dalam era kekuasaannya menyatakan sesuatu hal prioritas, maka semua pegawai juga harus menyebutnya prioritas dan unggulan. Unit kerja yang secara tradisional mendapatkan biaya terbesar biasanya akan selalu menjadi skala prioritas utama dan dominan bagi pimpinan yang sedang berkuasa. Dapat diperhatikan bahwa saat seorang terpilih menjadi pimpinan (misal Kepala Daerah), maka karangan bunga ucapan selamat dan sukses yang terbesar dan terindah , akan datang dari unit kerja yang mendapatkan anggaran terbesar dan selanjutnya berurutan semakin mengecil ke unit kerja yang gurem. Demikian juga berbicara upeti, tidak banyak yang dapat diberikan oleh suatu unit kerja yang gurem itu. Maka apabila unit kerja gurem ingin menjadi fokus perhatian pimpinan, mereka harus berusaha melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang mampu mendukungnya memberikan upeti lebih besar untuk menggugah perhatian pimpinan. Bila tidak melakukan hal itu, meskipun jaman mengharuskan apa yang dikelola unit kerja gurem itu telah berkembang menjadi hal yang amat penting untuk dilaksanakan, bagi pimpinan tetaplah hal yang tidak penting, selama ia tidak memperoleh sumber finansial yang banyak daripadanya. Maka daripada itu, bagi pimpinan unit kerja gurem, agar mendapat perhatian pimpinan di atas, diperlukan suatu upaya khusus melakukan kegiatan tanpa uang, yaitu metode “jilatisme”. Jilatisme adalah suatu cara membuat seseorang menjadi lupa diri, mabuk kepayang dan berbahagia tentang hal yang dilakukan seseorang padanya. Metoda ini berupa upaya meninabobokan seseorang antara lain dengan memberikan pujian yang elok (karena manusia umumnya senang di puja puji), memberikan service perempuan yang elok bagi pimpinan yang doyan “daun muda”, membuat seolah-olah sang target adalah “orang yang bersih, jujur dan berwibawa” dengan selalu mendengungkan “iman dan taqwanya” kepada publik luas, mencari hal-hal kecil yang murah meriah yang bila diberikan akan menyentuh hati sang target, pergi ke dukun yang dianggap mampu membelokkan hati sang target (seperti kata Kiai Gendang Pamungkas), melakukan aksi “kolunuwun” setiap ada kesempatan menampilkan diri seolah amat “setia” dan perhatian penuh kepada pimpinan, bahkan ada yang mau memberikan “anak gadisnya” agar menjadi sukses dalam prosedur “jilatisme” tersebut. Jadi kesibukan yang dominan dilakukan oleh para pejabat PNS bukalnlah upaya meingkatkan kinerja, tetapi lebih dominan menghabiskan waktu kerja untuk melakukan metode “jilatisme”.

Dalam melakukan pekerjaan tidaklah penting tentang prestasi. Yang terpenting adalah “mengamankan” posisi dalam pandangan pimpinan. Selama pimpinan yang bersangkutan masih berkuasa, selama metode “jilatisme” dapat dipakai, seburuk apapun kinerja seorang pejabat PNS, maka ia tidak akan mendapatkan gangguan berarti dalam menikmati jabatannya. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana untuk terus naik dan naik ke jenjang yang lebih tinggi lagi dengan metode “pendekatan” yang lebih canggih lagi. Perlindungan terhadap pengawasan oleh pihak lain dapat dianulir atau kalau tidak dapat dihindari, dampaknya dapat diperkecil, misalnya biarpun masuk penjara, namun tabungan hasil “jilatisme” sudah cukup untuk membiayai hidup minimal satu turunan.

Bagaimana nasib PNS yang jujur, giat, berprestasi bersih namun tidak melakukan “jilatisme” ?.

Gampang sekali !!!. Kalau kita membawahi seseorang yang demikian tadi (dan biasanya yang seperti ini, hanya minoritas di unit kerja). Banyak cara untuk meredamnya. Salah satu cara adalah dengan memberikan pekerjaan yang amat diminatinya, kalau dia suka komputer, berilah dia komputer yang banyak dan berilah biaya yang “pas” untuknya agar asyik masyuk dengan komputernya, hal-hal yang diajukan dari hasil kerjanya, teruskan kepada pimpinan lebih atas dan buat menjadi tidak penting dan tidak prioritas, dan beritahukan kepada yang bersangkutan dengan ucapan terima kasih yang tinggi dan berharga, bahwa ide tersebut amat dihargai pimpinan di atas, namun beliau masih bingung dengan cara memperoleh sumber pembiyaan dan dukungan dari DPR. Atau kalau dia bersikeras, cukup biarkan saja dia berang setiap hari, jangan dihiraukan sampai jenuh (atau stroke) sendiri, karena untuk kenaikan pangkat dan sebagainya mesti lewat pimpinan, tidak perlu di usul untuk pemecatan, tetapi dikucilkan saja dari pergaulan kantor, sampai yang bersangkutan “teler” sendiri. Di Indonesia, tidak pernah ada orang yang membela seorang pegawai negeri yang teler seperti ini. Sejauh jaman ini, tidak pernah ada “demo” dari masyarakat Indonesia yang menjurus ke arah dukungan terhadap nasib PNS yang teler.

Kalau PNS tersebut pegawai daerah, maka amat mudah mengendalikannya, karena dalam sistem kepegawaian Indonesia, khususnya untuk PNS di daerah, hanya kelompok suku tertentu yang umumnya mampu membangun jaringan saling angkat-mengangkat atau “symbiose mutualistic” hubungan saling menguntungkan. Kalau “enemy” itu dari suku yang lemah posisinya di Indonesia, maka akan amat mudah melakukan pengucilannya. Tetapi bila dari suku yang “kuat”, maka dukunglah dia untuk pindah ke tempat lain dengan iming-iming naik jabatan dan rekomendasi tentang prestasinya yang hebat di daerah. Dan hal ini menjadi model di Indonesia, banyak pejabat yang amat buruk kinerjanya di daerah, karena adanya “hubungan khusus” dengan pusat, tiba-tiba di angkat di pusat menduduki posisi yang lebih baik daripada di daerah. Sepintar apapun seorang pegawai yang tanpa relasi personal di pusat, akan selamanya menjadi pegawai “biasa” di daerah, sampai ajal menjelang !!!. Maka di pusat berkumpullan PNS yang berhasil melakukan metode “jilatisme” dan khubungan personal yang khusus itu.

Kadangkala orang-orang seperti itulah yang di utus kembali untuk melakukan “pembinaan” ke daerah-daerah, dan biasanya dengan amat cepat type seperti orang ini meminta “fasilitas dan services” di daerah. Karena dia memang ahli dalam seluk-beluk “jilatisme” di daerah, maka jadilah para pejabat di daerah melakukan segala daya upaya melayani “tuan besar” yang sedang membawa berkah “pembinaan” kepada daerah. Siapa menghalangi dan kurang patuh akan mendapat ancaman “kegiatan anda hilang” atau dana alokasi untuk daerah anda akan tidak jelas, atau “anda akan mengalami kesulitan” atau “orang daerah anda dianggap orang yang kurang mau maju” atau “berbagai laporan evaluasi pembinaan yang inda-indah, sesuai services dan facilities yang telah diberikan sebagai kompensasinya”. Maka ada daerah yang amat buruk soal lingkungannya mendapat penghargaan yang layak lingkungan. Ada daerah yang miskin dikatakan merrupakan daerah “ekonomi potensial prosepektif”, karena evaluasi berbasiskan kinerja “jilatisme” tersebut. Siapa beripkir jernih dan adil, dianggap melawan arus, jadi “katanya” harus mengikuti arus asal “jangan kelelep”. PNS yang tugas utamanya sebagai “jongos masyarakat” bukan menjadi jongos itu, tetapi mayoritas telah menjadi “monster” baik bagi sesamanya, mau pun bagi masyarakat. Kelompok PNS yang tidak ikut-ikutan arus, menjadi penonton dalam era ketidakberdayaan yang amat merata di seluruh Indonesia.

Proyek dan Program, Mark Up, merusak fasilitas secara sembunyi, merehab gedung yang belum perlu direhab, menurunkan mutu hahan dan alat, merubah spesifikasi, melakukan lelang kongkalingkong, menunjuk kerabat dan relasi, melakukan penyuapan, memberikan janji muluk, membuat suatu pekerjaan yang tak pernah tuntas, membakar lahan reboisasi, membuat jalan di atas jalan hak pengusahaan hutan, mengajukan data dan informasi fiktif, mempersulit pencarian berkas dokumen penting, mematikan pengusaha yang jujur, memberikan pekerjaan kepada satu pihak tanpa henti, pegawai yang tidak mampu menghabiskan biaya yang disediakan di cap bodoh atau belum mampu melaksanakan tugas.

Jabatan dan Kedudukan, ABS. Merekrut pegawai berdasarkan relasi dan kekerabatan, memberi jabatan kepada pihak yang tidak layak, menggunakan perlengkapan kantor seperti milik pribadi, membangun hubungan jaringan gelap berdasarkan kelompok dan suku, menggalang kekuatan dengan suap dan ancaman, menutupi kesalahan relasi dan kerabat, menghambat potensi-potensi personal yang jujur untuk maju, mengelak dari tanggungjawab apabila ada masalah, bersenang-senang dengan lagu kemesraan, menggalang dukungan massa melalui partai politik dan isu sara, menolak ide-ide kreatif yang harus dilakukan secara konsisten, mencari dan memilih aspek termudah dan amat menguntungkan dalam pelaksanaan tugas, melemparkan tugas yang sulit kepada staf atau pihak lain, menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, menyiapkan perangkap bagi pihak-pihak yang kontra, membuat evaluasi dan laporan palsu yang isinya menyenangkan, selalu mencari metode teraman dalam melakukan tugas, melayani atasan yang menentukan langgengnya jabatan, selalu memuji atasan yang menentukan langgengnya jabatan, menggunakan dan membayar media massa untuk membangun citra pejabat ideal, mengembangkan taktik dan tipu daya yang semakin canggih, merangkai alasan palsu secara bekerjasama, selalu berupaya mencari sisi negatif pihak yang berpotensi maju, selalu mendengungkan jabatan bukan merupakan hak tetapi merupakan kewenangan dan selera atasan, selalu menyatakan mutasi jabatan merupakan hal yang biasa, selalu menyatakan pejabat yang diangkat adalah melalui fit and proper test yang ketat dan murni, menggunakan dukun dan ahli agama dengan tenang, selalu aktif dalam forum-forum keagamaan dan kemasyarakatan.

Titel dan Ijazah Palsu, mudah murah dan efektif. Secara kolektif melegalkan penggunaan ijazah palsu dan titel palsu, memojokkan pihak lain yang benar-benar memperoleh ijazah secara legal, mendorong orang lain untuk mendapatkan ijazah palsu, mendapatkan ijazah tanpa sepengetahuan atasan langsung, menggunakan titel yang amat panjang dari beragam disiplin ilmu, secara sembunyi mendorong pendirian lembaga pendidikan (pada umumnya swasta), memasang titel di media massa, secara kolektif menyumbat jalur untuk verifikasi ijazah palsu, mencari lembaga pendidikan yang bisa di beli hak legalitasnya, menyumbat kesempatan pemegang ijazah legal untuk maju, membuat isu pendidikan formal yang bersih dan legal sama mutunya dengan yang illegal, mau mengajar di lembaga pendidikan swasta dengan gaji kecil untuk menyembunyikan legalitas ijazah, berupaya menempatkan keluarga dan kerabat dalam lembaga pendidikan formal terbaik sebagai kamuflase diri, selalu memberi tanggapan persoalan dengan berbelit-belit dan mendorong orang berpikir gampang yang di kemas dengan kata ilmiah, bila habis argumentasi selalu mengembalikan persoalan kepada Tuhan, membuat data kepegawaian tak pernah beres, selalu mengatakan pendidikan formal yang benar hanya asesori yang bukan menentukan kualitas seseorang, mendengungkan isu pendidikan informal lebih baik daripada formal, menghafal beberapa kalimat dari kitab suci dan orang-orang terkenal dan penting untuk menunjukkan dirinya ilmiah dan beriman, melecehkan dan memperhebat kritikan terhadap pemegang ijazah formal dengan kata pendidikan formal bukan jaminan mutu untuk berkerja, berupaya secara konsisten masyarakat menerima ijazah informal, menutup peluang pendidikan terbaik bagi pihak yang kontra, berupaya agar staf tidak terlalu pintar dan cerdik cendikia,

Pedidikan dan Pelatihan, basa-basi. Pendidikan dan latihan formal tidak bernilai dalam penjenjangan karier, selalu menyatakan diklat hanya sebuah syarat,
Hierarki Kekuasan (disposisi), ular. Melakukan disposisi bertingkat-tingkat terhadap hal yang mudah dilaksanakan, membuat disposisi tersembunyi untuk hal yang menentukan, membuat disposisi yang isinya sangat umum, memperlambat urusan yang penting agar masyarakat menilai telah berkerja keras, menempatkan orang berdasarkan selera, membangun jaringan yang saling mendukung dan menguntungkan secara pribadi, mematikan pihak-pihak yang kontra, mengoreksi dan menghentikan dengan ketat hal-hal yang diajukan pihak yang dianggap kontra.

Rapat, Seminar, Lokakarya, hura-hura. Membuat forum-forum rapat koordinasi yang besar dengan materi yang minim dan kurang penting, menggunakan hotel-hotel besar, menghadiri ke tempat-tempat yang jauh dan mahal, membuat laporan fiktif, melakukan rekreasi dan hiburan, menghadiri dalam frekuensi yang melampaui batas, menghabiskan anggaran, membawa rombongan relasi yang besar, mencari-cari peluang ke luar negeri, mewakilkan kehadiran kepada dan membuat laporan oleh staf,
Perjalanan Dinas, cara rekreasi unik. Perjalanan dinas melebihi hari kerja tersedia, fiktif, laporan tidak jelas.

Loyalitas, orientasi kekuasaan. Menggalang dukungan partai politik dan atasan.
Kejujuran, jujur menyetor hasil usaha ke atas.
Kepemimpinan, membuat staf ikut berperilaku sama.
Insitiatif / Prakarsa, jangan membuat staf faham situasi.

PNS Era Soekarno

Kontaminasi hal duniawi terhadap PNS era Soekarno masih belum kentara. Semangat kebangsaan dan pengabdian kepada Ibu Pertiwi masih bergelora. Berbagai kesulitan yang dihadapi PNS tidak dipandang sebagai suatu rintangan yang besar, karena rasa tulus ikhlas dan masyarakat masih memandang PNS sebagai suatu profesi yang berorientasi pengabdian kepada negara. Masa itu belum berkembang media massa dan distribusi informasi belum lancar dan tepat waktu ke seluruh pelosok Indonesia. Corong pemerintah melalui kegiatan penerangan selalu mendengungkan rasa nasionalisme yang tinggi dan bersifat tunggal memonopoli semua segi sumber informasi. Mayoritas PNS era itu hanya berpikir untuk melakukan profesinya dan berupaya mengatasi persoalan ekonomi keluarga sehari-hari, belum banyak peluang mendapatkan diversifikasi sudut pandang terhadap banyak masalah yang bergulir secara nasional dan di dunia luar.

Informasi dan peraturan perundangan relatif sedikit jumlahnya, para PNS dapat berkonsentrasi mempelajari hal-hal yang terkait dengan profesinya secara soliter. Lembar-lembar peraturan dan dokumen yang terkait profesi PNS dapat menjadi lembaran yang amat kumal, karena bertahun-tahun secara kontinyu berulang kali di buka dan dipelajari tanpa terlalu khawatir terhadap adanya perubahan drastis yang dengan cepat menghadirkan kaidah-kaidah baru. Banyak PNS masa itu sampai-sampai mampu menghafal pasal demi pasal kaidah-kaidah normatif yang berlaku saat itu, karena transisi isi informasi yang relatif statis. Ketersediaan alat tulis perkantoran pun amat sangat terbatas. Seorang kepala kantor akan amat berhati-hati dalam mempergunakan peralatan perkantoran. Bahkan lembaran yang masih kosong satu sisinya dapat dipakai dan berlaku untuk menulis surat. Tidak ada ballpoint yang dapat dipakai seketika. Alat tulis harus dipersiapkan dengan amat sulit. Bila mampu untuk mendapatkan sebuah pulpen yang baik adalah sebuah kebanggaan yang amat luar biasa bagi PNS. Pulpen / pena di rawat dengan cara membuka bagian demi bagian dan menggunakan air hangat untuk mengggelontor kotoran yang biasanya menempel dan mengendap di dalam tabung tinta dan mata pena. Rutinitas perkantoran berjalan dengan adem, tidak banyak orang yang lalu lalang datang untuk mendapatkan pelayanan. Interaksi lebih banyak terjadi diantara sesama PNS dalam lokasi kantor berdekatan.
PNS di daerah pada umumnya masih dapat memperoleh tambahan biaya hidup sehari-hari usai melakukan tugas, yaitu dari sumberdaya alam yang saat itu masih cukup tersedia seperti ikan di sungai, hewan dan sumber nabati lainnya yang dapat dikembangkan relatif bebas. Mayoritas PNS belum mengenal persoalan inflasi dan nilai tukar valuta asing. Namun dampak ekonomi Indonesia yang direncanakan dalam demokrasi terpimpin telah membuat mayoritas PNS menjadi amat miskin dari sisi materi, namun karena masa itu adalah masa awal mengecap nikmatnya kemerdekaan, maka ukuran ekonomis itu belum banyak di kenal, karena bangsa Indonesia secara mayoritas sudah terbiasa hidup dalam “kemiskinan” dan belum banyak mengenal PNS yang kaya raya karena profesinya sebagai PNS. Dalam era tersebut, disamping aliran pokok uang negara untuk PNS hanya berupa rapel dan gaji belaka, belum di kenal istilah proyek atau program yang memerlukan biaya. PNS masa Soekarno belumlah menjadi profesi yang dianggap menjadi jalan untuk mendapatkan kekayaan yang “berlimpah”. Orang tidak perlu berbondong-bondong dan berdesakan untuk mendapatkan tempat menjadi PNS. Di mayoritas daerah, kantor-kantor PNS jarang yang di bangun megah dan besar, pada umumnya amat sederhana dan amat tidak mencolok mata. Belum ada isteri PNS yang bergosip tentang proyek suaminya atau arisan dharma wanita yang penuh dengan rumor. Yang ada adalah beberapa unsur PNS yang merupakan imbas mental penjajah, dimana lagaknya masih seperti gaya “kompeni” dengan bahasa campur aduk antara Belanda dan Indonesia.
Karena perubahan yang belum banyak terjadi di era itu, maka asesori dan kosmetika dalam kegiatan-kegiatan PNS belumlah banyak. Tidak perlu terlalu khawatir tentang banyak acara rapat-rapat di hotel, seminar, lokakarya, atau pertemuan yang membutuhkan biaya besar. Cukup dengan beberapa lembar surat, seorang pimpinan kantor sudah mampu melakukan pengendalian kegiatannya dengan baik, dan amat jarang adanya penolakan dan pertanyaan konsekuensi pembiayaan darinya.

Selanjutnya menjelang akhir era Soekarno, PNS digiring oleh partai politik dan ormas ke dalam suatu kancah perpecahan yang besar. Pertarungan politik yang sebenarnya hanya dominan terjadi di Pusat atau Pulau Jawa itu dimulai dari mengemukanya ideologi “meratakan distribusi kekayaan” atau “meratakan derita kemiskinan” yang didengungkan oleh partai politik dan ormasnya. Secara lambat, tapi pasti, PNS mulai mengenal bahwa profesi PNS terutama sebagai kepala kantor atau dengan memegang jabatan, akan merupakan alat mendapatkan peluang lebih besar dalam meningkatkan ekonomi pribadi. Kesenjangan antara pimpinan dengan staf amatlah mencolok mata, di mana pimpinan dapat memperoleh berbagai kenyamanan dan fasilitas dari negara, sedangkan bawahan hanya akan dapat memperolehnya apabila ada niat baik pimpinan membuang tetesan ke bawah. Dalam kondisi demikian, banyak PNS yang termakan ideologi “sama rasa sama rata” yaitu aku bahagia dan kaupun bahagia. Teriakan nyaring tentang “ganyang nekolim” mulai menjadi bagian dari keseharian PNS. Keinginan berdikari yang kuat dalam era itu, meski dalam kondisi ekonomi yang amat lemah, dengan pemerintah menghindari peran ekonomi dan investasi asing tertentu, menyebabkan pengangguran dan kemiskinan yang amat merata. Maka banyaklah PNS yang sudah mulai mengenal arti sebuah jabatan dan pengaruhnya terhadap ekonomi tadi, mulai berharap adanya suatu era baru yang dapat membawa mimpi akan “kesejahteraan sama rasa sama rata”. PKI memanfaatkan sisi tersebut dengan menawarkan prinsip ekonomi yang dikatakan lebih baik dan adil bagi rakyat yang amat miskin tersebut.

Era Soeharto

Partai tunggal dan berpikir tunggal bagi PNS. Jabatan dan kedudukan serta peluang kerja bagi pro Golkar. PNS diminta sumbangan dana. Siapa tidak setia kepada Golkar di cap PKI dan atau dimutasi serendah mungkin. Seluruh PNS menjadi anggota dan pengurus Golkar. Untuk melamar menjadi PNS harus melampirkan surat bersih lingkungan (bersih dari keterkaitan dengan PKI) dan kartu Golkar. Jabatan dan Pejabat di nilai dan ditentukan oleh Golkar. PNS dimatai-matai loyalitasnya dengan menggunakan Golkar dan dwifungsi ABRI. Ada lembaga yang secara khusus mematai aktivitas PNS dan membuat laporan tentang bersih lingkungan serta gejala penyelewengan ideologi Golkar. Dalam dwifungsi ABRI pangkat seorang PNS yang telah mencapai Golongan IV / C disamakan dengan sorang Kolonel di militer, padahal setelah Kolonel masih ada 4 (empat) tingkatan kepangkatan menuju pangkat tertinggi. Golongan IV / C di PNS akan menuju 2 (dua) tingkat ke pangkat tertinggi. Bila seorang ABRI masuk dalam kelembagaan PNS, dapat dipastikan akan mendapat jabatan yang baik dan amat langka kehilangan jabatan sampai pensiun.

Dalam era Soeharto inilah amat terkenal istilah proyek. Setiap kegiatan untuk pembangunan di luar kegiatan rutinitas kantor di sebut sebagai proyek. Dalam era perproyekan ini terjadi berbagai macam taktik dan strategi untuk membelanjakan uang negara dan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Pembiayaan pembangunan dilakukan dengan sangat intensif memanfaatkan sumberdaya alam yang mayoritas di jual kepada pasar ekspor berupa bahan mentah atau bahan setengah jadi. Dana pembangunan melimpah ruah dan ditambah dengan pembiayaan melalui utang. Untuk menjadi pemimpin proyek atau pimpro haruslah seorang pegawai negeri yang kalau di daerah ditunjuk oleh Kepala Daerah bersangkutan, berdasarkan usul Kepala Kantornya. Pimpro dibantu oleh seorang bendahara yang juga harus berstatus PNS penuh (bukan calon PNS). Pertanggungjawaban proyek berada di tangan Kepala Kantor. Bagi seorang pimpro atasan langsung dalam hierarki birokrasi kantornya yang biasanya menjadi bawahan kepala bidang atau kepala sub dinas tertentu tidak berlaku selama dia menjadi pimpro. Tanggungjawab fisik dan keuangan disampaikan pimpro kepada Kepala Kantor. Jadi dalam skema proyek terdapat tiga orang pegawai dalam satu unit kerja yang dapat mengelola biaya pembangunan dengan tidak perlu menghiraukan pegawai lain yang bukan terlibat dalam sebuah proyek. Ringkasnya menjadi seorang pimpro di masa tersebut umumnya membuat seorang pegawai kaya mendadak, apalagi kalau proyek yang ditangani dalam jumlah biaya yang besar. Karena banyaknya proyek di Indonesia ini yang terkait dengan pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara dan lain-lain, maka pegawai unit kerja yang paling “basah” adalah pegawai pada unit kerja yang terkait hal tersebut. Di daerah yang melimpah sumberdaya alamnya dan banyak transmigrasinya, maka para pegawai unit kerja terkait hal ini yang akan menjadi orang-orang kaya baru yang ditandai dengan pembangunan rumah dan kendaraan pribadinya yang mencolok mata dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Ada banyak pegawai yang menjadi pimpro sampai masa pensiun tiba, kemudian setelah pensiun menjadi pemborong atau kontraktor pemerintah. Banyak juga pegawai yang berfungsi ganda selain sebagai PNS juga menjadi kontraktor / pemborong dipemerintahan atau di kenal dengan “plat merah”. Para pegawai tipe ini amat lihai dalam memainkan dana pembangunan dipemerintahan, maklum mereka tahu betul seluk-beluk dalam pemerintahan. Mereka melakukan penjajagan proyek-proyek besar sampai ke pusat / perencana nasional dengan membawa kantung-kantung uang untuk memperlancar upaya mendapatkan proyek-proyek besar. Di tingkat nasional banyak pejabat yang menjadi makelar untuk menggoalkan proyek-proyek yang diinginkan tersebut. Selain menjadi pengusaha, maka pensiunan PNS banyak yang muncul kembali menjadi anggota DPR atau mengelola berbagai yayasan. Era Soharto ini pegawai yang korupsi masih belum merata, terkonsentrasi dalam kelompok-kelompok khususnya Golkar dan dalam lingkup yang direstui masuk lingkaran (istana). Kepala Daerah dalam era ini belum ada yang di angkat dari masyarakat umum, tetapi dari PNS atau militer (polisi) yang direstui oleh pusat dan diaminkan oleh DPRD untuk menjadi Kepala Daerah. Kekuatan “Cendana” amat sangat luar biasa, sehingga banyak PNS yang berasal dari Jawa bila bertugas di daerah dapat berpura-pura menjadi keluarga “cendana” untuk mencapai tujuannya yang kebanyakan amat berhasil. Bahkan pernah terjadi seorang yang nyata-nyata eks transmigran menyatakan dirinya sebagai anggota keluarga “cendana” dapat dengan lancar melenggang menjadi Kepala Daerah.

Era ini nasionalisme didengungkan dengan kencang dan Pancasila serta Undang Undang Dasar 1945 disebut pondasi sakral negara Indonesia. PNS secara sistimatis di cuci otaknya agar selalu mengagungkan prinsip negara kesatuan dalam pemahaman yang tunggal. Tidak boleh ada PNS yang mengartikan bahkan berpikir selain apa yang digariskan dalam P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila). Bila diketahui berpikir selain hal itu, maka dia akan dikucilkan secara sistematis untuk mendapatkan peluang peningkatan kariernya. PNS tidak boleh berpolitik dan mengikuti Pemilihan Umum yang telah diharuskan memilih Golkar. PNS juga diharuskan mendapatkan latihan baris-berbaris yang dilatih oleh militer. Bahkan seorang kepala kantor pun harus tunduk melakukannya atas pengaturan seorang kopral. Konsep bela negara dan Hamkamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta) menjadi doktrin Nasional. Tidak boleh ada kreativitas lain yang boleh muncul dari pemikiran murni para PNS. Saat itu PNS benar-benar tertidur dalam lelap dan tidak banyak mengenal tentang dinamika yang terus berlangsung di dunia luas sekitarnya. Secara harafiah, kondisi PNS saat itu terlihat seolah-olah amat mantap dan amat bersatu. PNS yang loyal dan dekat dengan pusat dan dekat dengan “cendana” akan dapat melejit kariernya dan saat itu kebanyakan karier setingkat Menteri dapat diraih oleh PNS yang telah mendapat restu pusat. Para PNS terlena dengan konsepsi pola pikir masa itu dan menganggap hal itu telah menjadi suatu hal yang mutlak dan tak tergoyahkan bahkan sebuah takdir. Gaji PNS yang relatif kecil tidak menjadi persoalan saat itu, karena banyak sumber biaya yang dapat diperoleh melalui perproyekan. Masyarakat umumnya juga membantu situasi tersebut berkembang mendalam. Seorang PNS yang “miskin” dan terkenal jujur di kantonrya di cap bodoh dan menjadi gunjingan oleh masyarakat dilingkungannya terutama bila tidak dapat memberi sumbangan berupa uang. Dalam era itulah banyak sekali kata-kata istilah dan singkatan yang muncul dalam kegiatan PNS yang harus diketahui dan dihapal.

PNS era itu berperan melakukan adminsitrasi pengelolaan sumberdaya nasional. Hutan dan sumberdaya alam lainnya diperas habis-habisan dan juga para petinggi PNS sibuk melakukan administrasi pembelanjaan uang dari hasil hutang luar negeri yang melimpah ruah. Untuk memebelanjakan utang dan menghabiskan sumberdaya alam tersebut, maka banyak pengusaha yang dibesarkan oleh PNS menjadi konglomerat dengan memberikan kemudahan adminstrasi usaha dan dana dari negara. Kebocoran keuangan negara yang hebat tidak terlihat dengan jelas, karena seluruh adminsitrasi yang dilakukan PNS mampu memberikan bungkus yang rapat akan hal-hal yang tidak wajar. Di samping itu masyarakat pun umumnya masih kurang menyadari resiko besar yang akan dihadapi dengan cara pemerintahan yang berjalan tersebut. Maklumlah pada saat itu sumberdaya alam dan hutang luar negeri seolah sesuatu yang tak akan penah jeda menghujani ekonomi nasional. Sampai petinggi negara saat itu mulai berpikir mensejajarkan diri dengan negara maju “lepas landas” menuju masyarakat industri tulen. Maka di buatlah pabrik industri macam-macam, dengan mengandalkan “kapal terbang”. Dengan bangga dikatakan kapal terbang itu produksi dalam negeri. Padahal dalam kenyataan kapal terbang itu mayoritas komponenya, terutama mesinnya belum pernah mampu di buat di dalam negeri. Banyak PNS yang tersedu-sedu karena amat bangga saat kapal terbang pertama diluncurkan oleh Habibie, sang Tetuko yang dibangun dengan menghabiskan milyaran cangkul yang terbaik bagi para petani.

Era Habibie

Era Habibie adalah lanjutan era Soeharto. Pada masa pemerintahan Orde Baru birokrat sumpah mati ikut Golkar. Pancasila menjadi alat untuk cuci otak dan meninabobokkan birokrat. UUD ’45 dinyatakan sakral dan tidak bisa diganggu gugat. Mahasiswa diajarkan Wawasan Nusantara oleh Militer dengan ajaran HAMKAMNAS (Tahan Dalam Kamar Panas). Siapa berbeda pemikiran dianggap ekstrim kiri dan komunis. Korupsi terkonsentrasi dalam kelompok dan klan tertentu. Orang-orang papa ditransmigrasikan untuk pindah ke daerah lainnya yang dianggap kekurangan orang-orang papa. Daerah yang penduduknya kurang per satuan luas dianggap kurang produktif secar nasional di suruh menampung hasil pemiskinan dari pulau yang berpenduduk padat. Pembangunan dilakukan berdasarkan teori titik pertumbuhan / growth centres dan economic growth rate / angka pertumbuhan ekonomi. Sumberdaya alam digunakan habis-habisan seolah olah tak pernah akan berkurang atau bahkan habis. Pada saat itu juga Habibie meninabobokkan masyarakat Indonesia dengan ide “hightech” / teknologi tinggi menggantikan ide agraris yang dianggap ciri masyarakat primitif. Ide tinggal landas untuk terbang tinggi yang dalam prakteknya mendarat berkeping-keping atau jungkir baliknya kehidupan masyarakat kecil. Mimpi teknokrat yang mengharapkan teknologi tinggi dengan falsafah dimulai dari “akhir” dan berakhir di “awal”. Ternyata falsafah itu terbukti kini, kita Indonesia telah kembali ke “awal” yaitu tetap menjadi bangsa yang “miskin”. Habibienomic adalah kata baru yang indentik dengan menghabiskan uang negara untuk mewujudkan rajawali dan gatotkaca terbang tinggi, sementara punai di tangan dilepaskan.

Era Abdurahman Wachid

Pola pemerintahan yang katanya dalam “era reformasi” juga tidak jauh berbeda. Unsur-unsur yang telah kuat dalam era terdahulu bergabung dengan anasir yang menganggap dirinya memegang konsep baru untuk Indonesia tercinta. Maka kita telah memiliki prestasi baru di dunia, yaitu adanya wakil-wakil rakyat yang memilih “Presiden Buta”. Presiden yang homuris dan rileks, melebihi orang yang normal. Segala kebijakan pemerintahan di buat kontroversial dan penuh anekdot, kita sejenak melupakan hadangan problem kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menutup “mata hati” bersama Presiden kita itu. Kerusuhan diberbagai tempat di Indonesia ditanggapi dengan kata-kata “acuh beibeh”, “emangnya gua pikirin”, “kok repot?”.

Era Megawati

Kita telah menatap penuh harap akan perubahan cepat, karena datangnya “Ratu Adil” yang berjanji memberikan solusi cepat problematika bangsa yang kompleks. Namun sang ratu ternyata lebih banyak “diam seribu basa” ketika teriakkan rakyat menggema meminta keadilan itu. Beliau lebih banyak bersembunyi di balik tembok “merah” dengan jajaran tanduk banteng ketaton yang selalu berkata kami adalah pembela “wong cilik”. Sementara wong cilik itu hanya bisa berteriak di balik tembok merah yang meredam habis semua keluh kesah kita dapat sampai ke telinga Sang Ratu. Kelompok eksklusif yang senang menjual asset negara daripada melakukan perubahan manajemennya secara sehat. Kharisma masa lalu dalam aliran darah Sang Ratu tidak cukup kuat untuk merubah polah kelompok yang selalu merasa tertindas, walaupun telah memegang lebih banyak kekuatan dan kekuasaan untuk melakukan perubahan kehidupan bangsa yang lebih adil. Demokrasi hanya menjadi kata “perjuangan” melepaskan diri dari trauma kelompoknya di masa lalu. Pelaksaaan demokrasi terperangkap dalam jalan panjang yang tak berujung dalam sebuah “perjuangan” yang penuh tanda tanya akan maksud dan tujuannya itu.

Era Susilo Bambang Yudhoyono

Sempalan demokrasi yang tak berujung itu, melahirkan sebuah kekuatan baru yang menyatakan dirinya sedang melakukan penyelamatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang yang kata para Ibu “ngganteng” dan berwibawa kini memimpin kita menuju kepada hal yang “bersama kita bisa !”. Namun nampaknya anasir lama, medium dan yang baru tetap menjadi penentu, bahkan dalam kiatnya mereka lebih ahli dan terlatih memainkan manajemen pemerintahan, yaitu dengan cara berpura-pura sangat serius menangani segala persoalan pemerintahan dan bangsa. Daerah-daerah yang nakal lebih banyak di beri porsi dan perhatian. Konsep nasionalisme menahan diri bagi pihak yang masih bisa bertahan sampai daya tahan terakhir. Kontribusi pembangunan terbanyak diberikan kepada daerah atau masyarakat yang penuh problematik, sehingga ada kecenderungan banyak daerah yang mencari-cari masalah dengan membuat berbagai tingkah laku aneh dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Para menteri di pilih melalui bargaining dan kedekatan. Banyak sosok yang tidak kita mengerti, tiba-tiba dijadikan orang penting. Sehingga dalam prakteknya ada banyak tokoh dibawahnya yang suka jadi bintang iklan, berbicara ceplas-ceplos di televisi kaya bintang sinetron. Banyak lembaga negara yang tidak di pilih oleh rakyat saat ini, menonjolkan diri dan mendikte pemerintahan dengan berbagai isue yang semuanya dikatakan prioritas. Saat ini, dalam sistem yang dikatakan telah melalui reformasi itu, sedang berkembang distribusi KKN yang merata di Indonesia, tidak lagi korupsi oleh kelompok tertentu di pusat saja, seperti yang lama, melainkan KKN yang sudah menjadi rahasia nasional. Para kepala daerah dari berbagai partai mendapatkan peluang membangun “kelompoknya” masing-masing di daerah. Banyak pejabat “aneh” tiba-tiba naik memegang dan memimpin instansi / lembaga di daerah. Parade baru kesatuan KKN binaan partai politik yang membentuk jaring baja yang amat kuat melingkupi nusantara ini. Siapa ingin jadi Kepala Daerah, belilah partai politik yang melelang “posisi” dengan bayaran angka “penawaran yang tertinggi”. Siapa tidak mampu membeli, lakukanlah KKN dengan pembeli harga tertinggi, yang mampu membagi kekuasaan kepada siapa yang diinginkannya menjadi bagian dari private business likes system yang amat eksklusif. Pemimpin yang cerdik cendikia, jujur dan mempunyai hikmat dan talenta mempimpin, namun tanpa punya duit, tidak akan dapat menjadi pemimpin dalam era ini, kecuali rela melakukan KKN untuk mendapat porsi didalam private sistem of government. Menjadi orang yang bersih dan berwibawa dalam era lalu dan kini masih tidak penting bagi partai politik. Yang penting adalah kelanggengan kekuasaan walau digapai dengan cara apapun juga. Siapa yang bersih dan berwibawa dan tidak KKN bersiaplah menjadi penonton parade demoralisasi yang dipimpin oleh partai politik yang memulai konsep ini melalui penerbitan Undang Undang dan Paraturan-Peraturan yang secara terselubung atau terbuka mendukung terciptanya jalur demoralisasi tersebut. Bagaimanakan kita berjalan ke depan ?. Siapa yang mampu merubah perilaku kita ?. Karena para pemuka agama pun telah mulai melakukan gaya “celebrities”. Apakah kita hanya menanti saatnya perubahan yang bermoral itu datang dengan melalui berbagai malapetaka yang bahkan belum pernah terjadi dimanapun di dunia sampai saat ini seperti lumpur panas, tsunami, asap, gempa bumi, kekeringan dan lain-lain bencana secara paripurna ?. Apakah kita bisa berubah dengan menghujat negara lain atau berperilaku teroris ?. Apakah kita bisa berubah lebih baik dengan berpura-pura ikut melaksanakan perdamaian dunia ?. Apakah bangsa kita akan adil makmur dengan dimulai dari kesadaran manusia yang ada dalam partai-partai politik untuk menempatkan kebenaran dan keadilan menjadi nomor satu?. Renungan para politikus yang amat menentukan masa depan bangsa Indonesia melalui perannya menerbitkan kebijakan Nasional (UU / peraturan) itu, agar ke depan proses demoralisasi tersebut dapat dihentikan. Kalau proses itu tidak berhenti, tidak ada lain bagi bangsa Indonesia adalah secara serentak, simultan dan bersama-sama melakukan self-destruction, menjadi bangsa yang memalukan atau melakukan pemusnahan diri sendiri dari peradaban dunia ini. What’s the heck !!!!.

Thursday 28 June 2007

METODE PENINGKATAN JALAN LINTAS KALIMANTAN

Opini tentang infrastruktur jalan darat untuk publik di Kalimantan.

Membangun jalan darat untuk umum di Kalimantan belum ada satupun swasta yang mau. Semua biaya disandang pemerintah pusat dan daerah. Maka kemiskinan akan jalan darat di Kalimantan itu amat nyata dan terus berlangsung.

Sekitar tahun 1980-1987 upaya pembangunan jalan raya lintas Kalimantan oleh 4 (empat) Gubernur di Kalimantan telah mulai diupayakan, namun pemerintah pusat pada saat itu tidak mendukung rencana tersebut, antara lain pendapat Menteri Lingkungan Hidup saat itu Prof.DR. Emil Salim bahwa ”pembangunan jalan darat membelah rimba Kalimantan akan memudahkan akses penebangan kayu dan akan menghancurkan eskosistem hutan tropis”.

Perjuangan dan upaya empat Gubernur Kalimantan untuk membangun jalan darat di Kalimantan akhirnya bersinergi dengan Panglima Kodam VI Tanjungpura periode 1988-1991 Bapak Z.A. Maulani (Alm.).

Sinergisme petinggi Kalimantan dengan Panglima Kodam VI Tanjung Pura mengupayakan pembangunan jalan raya darat lintas Kalimantan melunakkan pemerintah pusat. Namun hasilnya hanya disetujui pembangunan jalan ”lintas Kalimantan” buka JALAN RAYA LINTAS KALIMANTAN.

Bahwa kelas jalan ”lintas Kalimantan” ini amat jauh berbeda dengan kelas ”JALAN RAYA”. Membangun jalan raya harus memenuhi kriteria standar dari lebar dan material badan jalan sampai lapisan base-nya serta metode pengaspalan / finishing surface. Membangun ”jalan lintas” tidak ada standar dejure dan defacto, karena jalan ini tidak jelas kelasnya, karena kelas jalan ini adalah jalan berfungsi sosial, untuk jalan silaturahmi menghubungkan permukiman yang dalam kondisi terisolir satu dengan lainnya di Kalimantan. Kelas jalan lintas amat berbeda dengan jalan raya yang berfungsi ekonomi. Jalan lintas di bangun dengan material mulai dari badan jalan yang di timbun seadanya dari galian parit ditepi bakal jalan lintas dan tidak memilih material, semua daun, batang, ranting, rumput, serasah hutan dan lain-lain material organik dibentuk menjadi badan jalan, demikian juga lebar jalan di buat seadanya. Sedangkan untuk jalan raya, harus memenuhi standar teknis dan diverifikasi dengan ketat oleh Dirjen Bina Marga.

Saat ini, hutan kita pun telah hampir habis dan kita pun juga tidak mendapatkan jalan raya, hanya mendapatkan jalan lintas Kalimantan yang bertonase rendah, karena badan jalannnya yang di buat bukan untuk tujuan ekonomi.

Namun perubahan dalam masyarakat Kalimantan telah dan terus menuntut adanya kelas jalan raya skala ekonomi, yang mampu menyandang tekanan gandar / beban angkutan barang 20 ton ke atas. Jalan lintas Kalimantan sekarang ini di hampir seluruh ruasnya hanya mampu menyandang tekanan gandar rata-rata maksimal 9 ton. Lebih dari 9 ton, maka jalan mengalami kerusakan hebat dan bertambah parah lagi akibat faktor curah hujan, sifat permukaan tanah dan ulah manusia yang menggunakannya dengan over dosis.


Untuk membentuk jalan lintas Kalimantan menjadi Jalan Raya tidaklah mudah. Terutama jika menyangkut metode pembangunannya. Secara klasik peningkatan jalan lintas Kalimantan dari kelas rendah itu ke kelas jalan raya ekonomi dilakukan dengan menambah lapisan baru dengan material yang lebih baik pada bagian atas lapisan yang lama. Metode ini dapat berguna hanya dalam beberapa waktu. Perubahan badan jalan lintas yang di buat dari bahan campur aduk tadi (tidak memilih material, semua daun, batang, ranting, rumput, serasah hutan dan lain-lain material organik) berjalan terus sejalan dengan perubahan waktu, maka badan jalan lintas dapat berlobang besar, bergelombang, ambrol dan lain-lain. Meski tidak dilalui angkutan berat, badan jalan lintas ini tetap amat labil karena meterial dasarnya yang bermutu tidak jelas.

Berdasarkan kondisi jalan lintas tersebut, kami mengajukan metode peningkatan jalan lintas Kalimantan dalam 2 (dua) cara:

1. Pembangunan Jalan Raya Lintas Kalimantan dengan Metode Tandem.

Tandem (membuat gandengan) yaitu dengan membuat jalan baru berdempetan / di samping jalan lama. Jalan baru ini di buat dengan menggunakan material yang bermutu tinggi. Pada masa lalu hal ini tidak mungkin dilakukan mengingat jalan lintas ini belum ada sama sekali. Setelah jalan lintas yang sekarang ini eksis, walau bermutu masih rendah, namun dapat digunakan sebagai jalan akses untuk membangun JALAN RAYA SKALA EKONOMI di sisi jalan lintas ini, dimana jalan lintas berperan sebagai jalan angkutan material bermutu tinggi bagi pembangunan jalan raya kelas ekonomi tersebut. Melalui jalan lintas (jalan lama) memungkinkan alat berat melakukan pengerukan material yang bermutu rendah dan membuat parit-parit pada bakal ruas / segmen bakal jalan raya yang memerlukan perbaikan mutu bahan badan jalannnya dan sekaligus mengangkut material bermutu untuk mengisi segmen parit-parit badan bakal jalan raya tersebut.

2. Pembangunan Jalan Raya Lintas Kalimantan dengan Metode Bedah Badan Jalan.

Ukuran lebar jalan pada ruas jalan Lintas Kalimantan rata-rata sekitar 8 meter. Untuk menangani badan jalan tersebut, pertama secara sekuensial lebar jalan di bagi 2 (dua) bagian. Masing-masing selebar 4 (empat) meter.
Bagian badan jalan yang akan di bedah selebar 4 meter. Alat berat berupa buldozer dan truk angkutan material mengakses badan jalan ini melalui bagian sebelah jalan 4 meter. Dari sini bagian sisi sebelah jalan 4 meter di keruk dan di ganti isi badan jalannya dengan meterial bermutu. Cara ini terbaik diterapkan pada ruas jalan lintas yang melalui permukiman penduduk yang sulit untuk dapat di bangun jalan tandem pada sisinya.

Karena tidak semua ruas jalan lintas Kalimantan yang ada saat ini bermutu rendah, penerapan ke dua metode tersebut dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survey dan inventarisasi seluruh ruas badan jalan lintas Kalimantan dan menentukan ruas-ruas mana saja yang memerlukan peningkatan yang layak menggunakan metode tersebut.

Apabila pengelolaan ruas jalan lintas Kalimantan masih menggunakan metode klasik yang seragam untuk semua ruasnya, yaitu metode menambah lapisan atas demi lapisan, maka stabiltas badan jalan terutama setelah lapisan perkerasan bagian permukaan tidak dapat disentuh atau diperbaiki. Berapapun biaya dikeluarkan, maka untuk mencapai stabilitas jalan lintas Kalimantan menjadi sebagaimana layaknya stabilitas kelas jalan raya berskala ekonomis akan sangat lama untuk dicapai, karena material badan jalan yang campur aduk itu memerlukan waktu yang berbeda untuk mencapai pemampatan maksimal atau stabilitas maksimal.

Demikian tulisan sederhana ini kami buat sekedar sumbang pikiran, tanpa ada niat melampaui kompetensi para ahli dalam bidangnya masing-masing.

Palangka Raya, 20 Juli 2006 Jam 19.06 WIB

NASIB PEGAWAI NEGERI SIPIL

NASIB PEGAWAI NEGERI SIPIL
Sebuah otokritik dari PNS di daerah terpencil.


Nasib Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Republik tercinta ini amat sangat tidak jelas!.


Lho, kok tidak jelas?.


Tentu akan banyak bantahan. Bagi masyarakat awam yang melihatnya pada kulit luar, PNS menjadi tempat peluang baik untuk menjadi kaya. Itu karena PNS yang memperoleh tempat basah, mondar-mandir di depan khalayak dengan minimal mengendarai motor-motor dari berbagai merek, dari yang paling mahal, misalnya Harley, sampai Bebek-bebek yang ngaciiiiir ….!!!!. Lalu yang lain mengendarai sedan Volvo, BMW dan lain-lainnya …., sesuai dengan kebasahan tempat kerja mereka. Kemudian kebanyakan pejabat, dari yang kecil sampai besar dapat memiliki rumah dari sederhana sampai keren. Dengan berbagai cara …. Sekali lagi, dengan berbagai cara. Dan beragam contoh lainnya yang secara kasat mata memperlihatkan beberapa PNS menjadi kaya mendadak!!!.

Lalu, tidak salah, kebanyakan orang memandang PNS itu adalah karier berusaha yang amat bagus untuk menjadi kaya.

Saudara-saudari, harap jangan melihat PNS itu pada sisi sinetron yang gemerlap. Karena PNS itu beragam jenis, berdasarkan TUPOKSI-nya, atau Tugas Pokok dan Fungsinya. Coba lihat PNS yang berkarier sebagai guru (kecil), PNS golongan rendahan, PNS jujur, PNS Linmas (Hansip) yang suka menjadi model orang bego dalam sinetron kita (ma’af untuk para Hansip) dan PNS “terjepit” bingung memilih ikut korupsi atau bertahan apa adanya sampai pensiun … dan lain-lain.

PNS itu berada dalam sistem, apabila sistem itu menghendaki mereka menjadi apa saja, maka mereka manut saja, karena kalau tidak manut, akan terkucil. Terkucil-nya pun kadang-kala aneh, yaitu biasanya tidak di pecat, tetap masuk kantor, tetapi tidak mendapatkan arahan dan perhatian pimpinan, dibiarkan sendiri sampai dia stressssss, akses-nya ke sumberdaya pemerintahan di tutup, tidak ada surat penting yang diproses-nya, tidak ada rapat penting yang ditugaskan untuk dihadiri, tidak ada senyum manis dari atasan dan lain-lain. PNS yang mengalami kategori ini lama kelamaan berprinsip “selama gaji saya tidak di stop, saya tidak perduli, yang penting kerabat, keluarga, lingkungan dan masyarakat masih melihat saya berangkat ke dan pulang dari kantor setiap hari”.

PNS masa Orde Baru, dimanfaatkan partai tertentu, untuk membuat berbagai hal dimasyarakat yang kemudian kalau bagus dinyatakan sebagai Karya Partai tersebut. Tidak manut ke partai, akan diberi berbagai cap menakutkan dan mengalami nasib seperti tersebut di atas. Dan lain-lain …… nasibnya.

Pada masa peralihan sistem / transisi dari ORBA, beberapa perusuh dengan sengaja mengincar orang berpakaian PNS dan ada kasus beberapa PNS di suruh mencopot bajunya di tengah lokasi publik. Para hakim jalanan itu memandang salah satu biang kerok utama krisis nasional pada saat itu adalah PNS para “pangreh pradja” itu ???.

Beberapa PNS masa Gus Dur, seolah-olah kejatuhan berkah, beberapa orang dari mereka memperoleh peluang naik pangkat amat cepat (ada yang dalam se-bulan naik dua tingkat), sebuah penerapan peraturan tanpa adanya alasan yang jelas. PNS lain yang “sial” tidak berani ngomong, peraturan pemerintah, walau pun yang dahulu “staf” dia, tiba-tiba menjadi atasannya. Dalam kondisi tersebut, tidak ada “demo” dari pihak mana pun untuk itu. Masyarakat umum dan masyarakat PNS diam seribu bahasa, walau pun ketidakadilan terjadi di depan mata terhadap PNS.

Pada masa Habibie, ada PNS yang dinaikkan pangkatnya “auzubilah minzaliq”, langsung ke tataran “jenderal” (kalau dianalogi dengan pangkat tentara). Menurut beliau, karena pegawai tersebut amat hebat prestasi-nya (anehnya tidak jelas prestasi apa) dan akan di ambil Luar Negeri bila tidak diberi subsidi kenaikan pangkat yang dahsyat, dan bukan karena adanya hubungan “khusus”. PNS lain yang kurang beruntung diam seribu bahasa, merangkat setapak demi setapak, meski berkarya amat baik, tidak terlihat oleh sistem. Sekali lagi, tidak ada “demo” membela nasib PNS yang teraniaya lainnya.

Di jaman Ibu Megawati, salah satunya ada Peraturan Pemerintah No. 8, yang sedang dan akan merampingkan jabatan struktural PNS. Berdasarkan analisis jabatan PNS, akan terjadi kehilangan jabatan struktural 50-60 persen, apabila hal itu diterapkan secara standar dan penuh. Peraturan ini tidak didasarkan atas “fit and proper test”. Tidak melihat jabatan berdasarkan tupoksi-nya, melainkan untuk “efisiensi” keuangan negara. Dengan mengurangi jabatan struktural akan terjadi penghematan anggaran negara cukup besar. Tidak ada pertimbangan tentang jumlah PNS di Indonesia ini belum seimbang dengan ratio pelayanannya (jumlah penduduk). Dan umumnya unit yang dieliminasi atau dilikuidasi itu unit yang tidak menggarap sektor dominan, unit kerja lemah yang semestinya perlu dikuatkan sebagai indikator keberhasilan pembinaan sektor dan aparatur. Aparatur yang lemah menjadi semakin lemah, karena dipandang tidak atau kurang penting dalam sistem. Sekali lagi, tidak ada “demo”, PNS manut saja dan oke-oke saja dengan apa yang dihadapi dan masa depan.

PNS juga digunakan untuk mempengaruhi inflasi, dengan menambah sedikit saja gaji PNS, maka efek daya beli mereka yang serentak di seluruh Indonesia dapat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa. Selanjutnya ada Undang Undang Netralitas PNS dalam Pemilu, yang menandai ketidak percayaan lembaga yang membuat UU tersebut tentang “masih adanya hati nurani PNS dalam berpolitik”. Sekali lagi, tidak ada “demo” tentang hal ini…. PNS pasraaaah ….!!!. Biasanya ada gaji bulan ke-13 (angka siaaaal !!!), kenapa tidak ada bulan ke -14 ???.

Kemudian ada KORPRI, yang para pengurus top-nya di tingkat Nasional akan seolah amat sibuk memperjuangkan nasib PNS, pada saat mendekati pembentukkan kabinet.

PNS itu adalah “jongos” rakyat dan pemerintah, tetapi juga bagian tubuh dan jiwa rakyat dan pemerintah itu sendiri. PNS tidak pernah mendapatkan hiburan di media massa, sebagaimana acara hiburan bagi TNI di TVRI. PNS mencari sendiri-sendiri hiburannya masing-masing. Media massa dengan dominan menyampaikan kejelekan PNS. Kalau gajinya naik, dianalisis salah. Gajinya turun, juga salah. Alhasil, pada saat Perjalanan Dinas PNS dengan kreatif memanfaatkannya untuk mendapat doku, sekaligus mendapatkan hiburan, maka diupayakanlah Surat Perintah Perjalanan Dinas yang sebanyak-banyaknya ke (mana yaaa Masss ???) …. Yaitu ke Jakarta, kota metropolitan yang menjanjikan segalanya itu. Dalam era otonomi penuh Kabupaten – Kota ini, maka para pejabat dan stafnya bersama-sama dengan PNS di Pusat (Jakarta) secara kompak membuat berbagai acara yang dilakukan di kota-kota besar di Indonesia ini. Persoalan yang dapat diselesaikan melalui telepon, internet atau media lainnya, dengan mudah di buat menjadi sebuah rapat Nasional di Jakarta atau kota besar lainnya.

Ada kisah yang mungkin lucu.


Yaitu, pada saat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengundang para Bupati dan Walikota beserta pejabat teras lainnya se Indonesia untuk pengarahan di Jakarta beberapa tahun lalu, seorang Sekretaris Daerah Kabupaten datang terlambat memasuki ruang rapat koordinasi. MENPAN langsung menegur dan menanyakan yang bersangkutan “apakah Saudara jarang ke Jakarta?”. Dengan spontan yang bersangkutan menjawab “Ya. Pak, karena Saya bertugas di daerah terpencil !”. Kebetulan saya bareng di pesawat, ketika sebagian rombongan pejabat tersebut pulang ke daerah. Mereka dengan geli bercerita: “MENPAN tertipu !!!, dia tidak tahu bahwa Sekda tersebut pada masa otonomi Kabupaten ini hampir se Minggu se kali ke Jakarta dan punya rumah di Jakarta !!!!”. Dan semuanya tertawa terbahak-bahak.

Apa yang terjadi dengan PNS ?.

Secara pelan dan pasti, sebagian besar PNS telah mengalami akulturasi budaya baru. Yaitu “psikomotorik epilepsi autodidak”.
Dalam kondisi ini, sebagian besar PNS belajar dari berbagai pengalaman yang dilihatnya dengan kasat mata, yaitu berbagai peristiwa yang tidak adil atau tidak normal dilingkungannya dan masyarakat, sebagaimana beberapa uraian di atas. Dalam kondisi yang normal (jujur dan adil) sebuah kedudukan diperoleh karena prestasi yang baik dan berharga bagi korps dan atau bagi masyarakat. Tetapi mereka tahu, apabila melawan keadaan itu, untuk membuatnya wajar dan normal, akan menyebabkan taruhan hilangnya peluang mereka untuk mengejar dan memperoleh kedudukan dalam sistem yang telah dalam kondisi “akut”. Dan untuk bangkit kembali, akan teramat sulit. Masyarakat pun kebanyakan menggiring PNS menjadi sakit, seorang pejabat yang mengendarai motor butut atau rumahnya biasa saja, dikatakan pejabat yang “tolol”, tidak bisa mencari duit.
Lama-kelamaan, mereka menganggap dan merasa serta terbiasa “semua hal yang menyimpang itu adalah hal yang wajar”. Pada saat melihat terjadinya penyimpangan itu, reaksi mereka biasa saja. Mereka akan bangkit, bila ada seseorang yang giat berkerja, gigih dan pandai dilingkungan kerjanya yang ada gejala akan merubah keadaan yang abnormal tersebut kepada normal. Secara serentak mereka akan melakukan jurus-jurus irasional untuk menghambat adanya rivalitas prestasi. Maka apabila satu orang waras, bersama sepuluh orang gila, orang yang waras itulah yang di tuding kesepuluh orang gila itu sebagai “orang gila”. Yang mereka kenal akhirnya hanya rivalitas wan-prestasi. Semakin banyak seorang membuat ketidakbenaran, akan lebih cepat dia mendapatkan perhatian, karena keberaniannya berbuat “nakal”. Maka di Indonesia ini, banyak pejabat yang “nakal” dengan cepat mendapat perhatian dan memperoleh kedudukan. Anak nakal selalu diperhatikan orang tua-nya … lama kelamaan anak yang tidak nakal, di bawah sadar, berkesimpulan untuk mendapatkan sesuatu, maka harus berbuat nakal. Bahkan lebih fatal, seorang rekan saya mengatakan, untuk memimpin masyarakat yang abnormal, maka mungkin diperlukan seorang yang “tidak waras”.
Seorang perawat pada saat awal mulai bekerja di rumah sakit pemerintah, biasanya amat perhatian dengan pasiennya. Karena sistem rumah sakit pemerintah tidak memberikan insentif / subsidi biaya untuk refreshing mental melalui liburan atau mendapatkan hiburan yang layak untuk menguatkan memori kerja awal yang baik dan benar tadi, lama-kelamaan jerit-tangis para pasien di anggap hal lumrah oleh perawat tadi, dan memorinya telah terisi dengan budaya baru, yaitu “rumah sakit memang tempat orang yang sedang menjerit dan menderita”. Tidak perlu ada pemikiran lain, tidak perlu bersusah payah menanganinya, selama pasien tidak melakukan keonaran fisik.
Ada juga PNS yang hampir tidak pernah mengambil cuti sampai pensiun. Ketika ditanyakan alasannya, di jawab dengan gamblang: “Siapa tahu ada rejeki doku datang, pas pada saat saya mengambil cuti…. Khan, saya tidak akan kebagian”. Nah, loe.

Berbagai pernak-pernik kegagalan PNS tidak menjadikan orang banyak berhenti berburu untuk menjadi PNS. Di samping kurangnya lapangan kerja, mereka beranggapan pekerjaan PNS itu paling mudah dan aman. Sampai pensiun tetap akan mendapatkan gaji. Tidak perlu berprestasi atau berupaya berprestasi. Yang diperlukan hanyalah upaya membangun sistem KKN sejak dini. Maka saat otonomi daerah ini, di samping ada kebaikannya, coba saja di lacak, penerimaan pegawai baru di daerah yang langsung dilakukan oleh daerah, sarat dengan problematika. Bupati / Walikota tertentu dengan sistematis menerima sanak-familinya untuk menjadi PNS dan kontraktor. Pemerintah pusat tutup mata, karena katanya sudah ada UU Otonomi Daerah. Persoalan di Daerah selayaknya di urus daerah saja. Pemerintah pusat sudah terlalu banyak menanggung masalah. Alhasil, dari kondisi ini, amat sulit mendapatkan PNS yang tauladan baik dan benar.

Subsidi kegagalan mewarnai PNS. Contohnya, banyak proyek yang amburadul akibat kelalaian Primpronya yang PNS tidak akan digubris selama setorannya lancar ke atasan. Bahkan, dananya akan di tambah lagi tahun berikutnya. Kebanyakan PNS yang pintar melobi tapi tidak pintar bekerja, lebih besar peluangnnya mendapat jabatan. Sehingga sikab mensubsidi sikab buruk itu di pakai secara umum untuk mendapat jabatan. Dan sebagainya …. dan sebagainya …..

Lalu siapa yang mengajari kesemuanya itu untuk PNS.
Apakah tidak kacian, ya PNS itu ????.
Lalu, benarkah teori saya tentang “psikomotorik epilepsi autodidak” tadi ????.

Psikomotorik = daya gerak mental.
Epilepsi = Ayan = Gila babi = trans = kesurupan.
Autodidak = belajar sendiri tanpa bimbingan siapa pun.

Selamat menjadi PNS. Terserah Anda dan ma’af bila saya salah dan berlebihan.

----Tamat.----